BAB 7. 1020

18 14 12
                                    

"Kamu marah?" 1011 duduk di hadapanku, tanpa basa-basi dia langsung ke pertanyaan inti. Sepertinya dia sudah menyadari perubahan sikapku beberapa hari ini. Jika teringat suatu saat kami akan berpisah, rasanya aku bahkan tidak sanggup untuk melihat punggungnya, apalagi menatap matanya. Aku takut rasa sedihku terlalu besar jika rasa sayangku terus berkembang.

"Hayoloh, 1020 ngambek gara-gara kamu kemarin gak nawarin kelapa muda. Dasar cowok gak peka." Bukan 1012 namanya kalau tidak bertingkah menyebalkan, sayangnya wajah super polosnya membuat orang lain mudah luluh, lebih tepatnya tidak tega marah pada bocah berwajah malaikat ini.

"Eh, serius gara-gara itu? Bukannya gak mau nawarin, tapi isinya emang dikit banget, gak cukup buat berdua. Mau metik satu lagi, gak sempat. Maaf, ya, aku haus banget." Huh, dasar 1011 aneh. Dia murid terpintar di kelas kami, tapi mudah tertipu dengan omong kosong 1012. Mana 1012 semakin semangat nyalah-nyalahin 1011, dan yang disalahkan terus menatapku dengan memasang ekspresi anak kucing belum makan dua hari.

Jujur saja aku hampir tertawa, mereka selalu berhasil mengusir rasa sedihku, ya, meskipun sedihnya hanya minggat sebentar dan akhirnya balik lagi. Aku beruntung punya teman sebaik dan selucu mereka, meski kadang suka bikin kesel, mereka tidak pernah membuatku marah.

"Sebenarnya bukan karena itu, tapi kebetulan aku haus, boleh petikkan satu?" Mumpung suasananya terlanjur seperti ini, sekalian saja aku minta 1011 memetik kelapa muda, aku sedang ingin minuman segar untuk memanjakan tenggorokan. Penderitaan murid kelas dua yang tinggal di wilayah gurun, salah satunya adalah cepat haus. Kami harus banyak minum agar tidak dehidrasi.

Berpindah dari Wilayah Timur yang mendapat julukan Surganya Pulau Surga, ke Wilayah Selatan yang berjulukan Nerakanya Pulau Surga, tentu siksaan yang berat untuk kami. Terbiasa dimanjakan oleh alam Wilayah Timur yang subur, lalu dibuang ke Wilayah Selatan yang gersang, rasanya seperti mendapat hukuman karena telah melakukan dosa besar.

Bukan hanya suhu yang menjadi keluhan, makanan dan minuman kami tak lagi beragam, lidah dan perut kami turut jadi korban. Sejauh mata memandang hanya hamparan pasir yang membosankan jadi tontonan. Pemandangan hijau yang menyejukkan mata kini menjadi hal yang langka.

"Es kelapa muda spesial untuk tuan putri sudah siap. Selamat menikmati." Entah sejak kapan 1011 kembali duduk di hadapanku. Perasaan dia baru pergi sedetik yang lalu. Sepertinya akhir-akhir ini aku terlalu sering melamun. Eh, tunggu dulu, tadi dia bilang apa? Es kelapa muda?

"Es? Dapat es dari mana?" Tidak perlu aku beritahu suhu tengah hari di gurun sepanas apa, kalian pasti bisa membayangkannya dengan mata tertutup, kalau ingin membayangkan dengan mata terbuka juga tidak apa-apa, intinya coba saja kalian bayangkan sendiri. Es adalah kata terindah yang menari-nari di telinga dan bermekaran di tenggorokan.

"Nyolong es di Wilayah Utara, hampir aja aku dimangsa Yeti yang agresif karena baru lahiran. Anaknya cowok, ganteng, loh." Ok, ternyata es hanya menjadi angan-angan belaka, tapi idenya boleh juga, mungkin kapan-kapan kalau terlampau kepanasan aku ngadem di Wilayah Utara aja. Aku kan pengintai yang handal, pasti tidak akan ketahuan masuk wilayah para guru yang memiliki suhu super adem.

Tanpa ba bi bu, 1012 merampas kelapa muda dari tanganku. Dia langsung mendekatkan matanya ke lubang kecil di atas kelapa, setelah lama mengamati, dia memulangkan kelapa muda itu ke tanganku, lalu mengomel kepada 1011 karena sudah membohonginya. Pasti dia juga berharap 1011 benar-benar mencuri Es dari Wilayah Utara yang dipenuhi salju. Sejurus kemudian, dia pergi, sepertinya kali ini dia benar-benar kesal, atau cuma kebelet? Coba tanyakan pada angin yang berembus.

"Kamu bisa cerita kalau ada yang mengganggu pikiranmu. Kupingku bisa menjadi pendengar yang baik, dan mulutku bisa dikunci dengan sempurna untuk menjaga rahasia di antara kita." Lagi, 1011 kembali mempertanyakan kondisiku. Dia teman yang paling mengerti perasaanku tanpa perlu kata untuk membuatnya peka.

"Korban seleksi alam kelas dua adalah temanku, aku sangat rindu, rasanya ingin bertemu sekali saja untuk mengucapkan salam perpisahan." Tentu saja aku mengatakan ini dengan pertimbangan. Aku tidak menyebut 1001, 1011 pasti mengira temanku itu adalah 1003, karena dia yang jadi korban seleksi alam. Teman, meski tidak mengenal senior, bisa saja kan kebetulan teman sekolah atau tetangga kami yang jadi senior kami di sekolah ini, aku ingin mengatakan bahwa kami akrab saat sebelum sekolah di sini.

"Kalau aku yang jadi korban seleksi alam, berapa hari kamu akan menangis?" Aku tersentak, kenapa dia malah menanyakan hal itu? Sebuah pertanyaan yang tidak bisa aku jawab. Membayangkannya saja sudah membuatku berduka, apalagi kalau hari itu tiba.

"Hei, kenapa menangis. Aku janji, setelah lulus nanti aku akan mencarimu walau harus berkeliling dunia, eh, maksudnya berkeliling Indonesia, kita kan masih satu negara." Dasar, pintar sekali menghibur. Hanya saja aku sudah terlanjur sedih, lagi pula kami benar-benar akan terpisah karena dua tahun lagi dia akan dikurung di pulau sebelah, bukan hanya para korban seleksi alam, para mata-mata juga akan dikurung di sana.

"Dari sekian banyak orang di dunia, kenapa harus kamu yang jadi mata-mata? Ups." Aku kelepasan. Buru-buru aku bangun dan baru selangkah pergi tanganku ditahan oleh 1011, dia menepuk-nepuk tanah di sampingnya, memintaku untuk duduk kembali. Aduh, kenapa harus seperti ini. Aku tidak ingin jadi pengacau dalam timku, mereka sudah berusaha keras menyelidiki tentang seleksi alam dan keanehan Pulau Surga, jangan sampai misi kami ketahuan gara-gara aku.

Oh Tuhan, apapun akan kulakukan untuk menebus kesalahan ini. Tolong buat dia amnesia. Haruskah aku lempar kelapa di tanganku ke kepalanya? Tidak, aku tidak sanggup menyakitinya. Dia terlalu baik untuk disakiti. Haruskah aku saja yang pura-pura amnesia? Ya, itu ide yang bagus.

SELEKSI ALAM 2 [END ✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang