BAB 12. 977 (Jevin)

13 11 0
                                    

Dokter mengatakan 788 hanya mengalami demam biasa, dia akan segera membaik. Berhubung dia tinggal sendiri, aku memutuskan untuk merawatnya. Mana mungkin aku tega meninggalkan orang yang sedang sakit sendirian di rumah. Bak menyelam sambil minum air, situasi ini sangat menguntungkan bagiku karena aku bisa selangkah lebih dekat dengan targetku.

Tadinya aku sempat bertanya pada penduduk sekitar, barangkali ada yang mengenal keluarga 788. Katanya dia anak tunggal, begitu juga dengan istrinya. Hanya keluarga kecil yang dia miliki, tapi istri dan putranya pergi terlalu cepat, putrinya adalah satu-satunya keluarganya, dan dia sedang sekolah di luar pulau dengan sistem super ketat sehingga tidak bisa dihubungi.

Wonderland Academy, aku tahu putri 788 sedang menjadi murid dari sekolah legendaris tersebut. Sekolah yang menyimpan segudang misteri dan sejuta rahasia. Andai mereka tahu betapa anehnya sekolah itu, andai mereka tahu seberat apa hari-hari yang kami jalani selama menjadi murid Wonderland Academy, pasti nama sekolah ini akan dicoret dari daftar sekolah impian.

Saat ingin mencari udara segar di luar rumah, langkahku terhenti di ruang tamu, mengamati foto keluarga 788, dan mataku terfokus pada anak perempuannya. Rasanya mata itu tampak familiar, dia mirip dengan rekan satu timku, tim penyelidik seleksi alam yang aku bentuk satu tahun yang lalu.

Berkat seragam tertutup rapat yang hanya memperlihatkan mata, aku tidak tahu seperti apa wajah rekan-rekanku, hanya mengingat mata dan suara. Aku bahkan tidak tahu siapa nama mereka karena para murid Wonderland Academy hanya dibolehkan saling memanggil dengan nomor induk siswa.

Aku memang diberitahu kalau putri 788 adalah murid Wonderland Academy, tapi informasi yang aku dapat hanya sebatas itu. Aku tidak tahu dia kelas berapa, atau nomor induk siswanya berapa. Tidak banyak juniorku yang aku kenal di sekolah itu, meski jumlah muridnya memang sangat sedikit, tapi sebagai Guru Pengawas, aku tidak terlibat dalam proses mengajar, selama menjadi guru aku tidak pernah berinteraksi dengan murid, jadi aku belum terlalu yakin kalau putri 788 adalah rekanku.

Mataku beralih pada lemari kaca berisi puluhan piala dan medali. Aku perhatikan satu persatu tulisan yang tertera pada piala tersebut. Bukan hanya melihat-lihat prestasi yang dimiliki keluarga ini, aku harus mencari petunjuk sekecil apapun itu. Pusat perhatianku adalah nama dan tahun yang tertera, masalahnya di setiap piala hanya tertera nama dan keterangan prestasi dari sang pemiliknya.

Oh iya, piagam penghargaan, biasanya pada piagam tertera tanggal dan tahun. Aku kembali melihat-lihat pajangan di dinding ruang tamu, dan syukurlah aku menemukan sebuah piagam penghargaan yang dipajang di antara lukisan, tapi sayangnya itu piagam penghargaan milik 788.

Suara ketukan di pintu membuatku bergegas membukanya. Seorang pria paruh baya yang mengenakan baju batik berwarna coklat menyunggingkan senyuman, di tangannya ada sekantong kresek putih terang agak transparan yang tidak segan memperlihatkan isinya yaitu buah-buahan, dan satu kresek hitam lainnya yang enggan memperlihatkan isinya, pria ini kukenali sebagai ketua RT di sini, namanya Ravi.

"Saya dengar pak Rei sakit, jadi saya langsung ke sini untuk melihat kondisinya," ucap pak Ravi saat aku persilakan masuk. Karena 788 masih tidur, pak Ravi hanya melihat sebentar ke kamarnya, lalu kembali ke ruang tamu. Aku pergi ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk tamu, tapi karena aku baru pertama kali datang ke rumah 788, jadi aku agak kerepotan mencari perabotan yang dibutuhkan.

"Tidak usah repot-repot, Nak. Saya menyempatkan mampir ke sini sebelum menghadiri rapat. Saya akan datang lagi lain kali, titip salam untuk Rei," ucap pak Ravi berpamitan sambil menyerahkan kresek yang tadi dia bawa. Sebelum pak Ravi pergi, aku sempat meminta izin untuk tinggal di rumah 788 sementara untuk merawatnya, pak Ravi berkali-kali mengucapkan terima kasih karena dia juga khawatir jika 788 sendirian di rumah saat sedang sakit.

Sepertinya dia sangat buru-buru sampai tidak menyadari kresek yang dia berikan bukan kresek berisi buah. Di dalam kresek ini ada buku besar dan beberapa lembar kertas bertumpuk rapi. Kertas-kertas ini berisi data penduduk yang mungkin dia perlukan untuk rapat. Saat menyadari kresek ini tertukar, aku ingin mengembalikannya, tapi pak Ravi sudah terlanjur hilang dari pandangan mataku, dan aku tidak tahu di mana tempat rapatnya.

Karena ini kesempatan emas, aku segera mencari data keluarga 788. Ketemu, lembar fotokopi KTP dan kartu keluarga milik 788 di antara lembar fotokopi kartu keluarga penduduk lain. Sepertinya dia belum bisa melepas kepergian putranya, di dalam kartu keluarga ini masih ada nama putranya.

Jasya, itu adalah nama putri semata wayang 788. Dari umurnya seharusnya dia masih menjadi murid di sekolah menengah pertama, atau mungkin dia menempuh jalur akselarasi sehingga bisa lulus lebih cepat dari semestinya. Kasian, padahal masih terlalu muda untuk dijerumuskan ke Pulau Surga. Pantas saja 788 sangat khawatir dengan anaknya.

Robi, nama putra 788. Dia adalah calon murid yang meninggal sehari sebelum dibawa ke Pulau Surga. Karena dia aku berada di sini, terbebas dari kurungan Pulau Impian. Dari tahun lahirnya yang tertera di kartu keluarga, sepertinya dia sama pintarnya dengan kakaknya, lulus SMP di usia yang lebih muda. Tidak heran, banyaknya piala di lemari kaca membuktikan bahwa keluarga ini punya banyak prestasi.

Jika adiknya adalah calon murid yang seharusnya sekarang menjadi murid kelas satu di Wonderland Academy, berarti Jasya kelas dua. Kesimpulan ini kubuat dengan menghitung umurnya, tidak mungkin dia murid kelas tiga. Kelas dua, setahun yang lalu dia kelas satu, memperbesar kemungkinan bahwa dia rekanku yang kurasa mirip dengannya.

Harusnya aku mulai menyelidiki tempat kebakaran tersebut, tapi ada untungnya juga aku di rumah 788, bisa mendapatkan informasi tentang keluarga ini. Setidaknya waktuku tidak terbuang sia-sia. Aku segera memasukkan kembali fotokopi kartu keluarga tersebut ke dalam kresek milik pak Ravi. Berjaga-jaga kalau dia segera kembali untuk mengambilnya.

Dering telepon mengalihkan perhatianku. Tertulis nama pak RT sebagai pemanggil. Buru-buru aku mengangkatnya, dan benar saja dia menanyakan tentang berkasnya. Katanya dia memang sering lupa karena faktor usia, dia akan mengambilnya seusai rapat.

Telepon genggam yang tidak menggunakan sandi ini membuatku tergiur untuk mengeceknya. Kutelusuri bagian penyimpanan foto dan video, kutemui file bernama keluarga. Tidak banyak foto dan video yang ada di dalam file ini, sepertinya mereka jarang mendokumentasikan kebersamaannya.

Sebuah video mencuri perhatianku. Terlihat Jasya sedang berdiri di sebuah panggung. Di belakangnya ada spanduk besar bertuliskan lomba pidato tingkat SMP. Suara ini, persis seperti suara rekanku. Kini aku yakin 100% bahwa Jasya adalah rekanku, 1020.

Sungguh kebetulan yang luar biasa. Kini aku berada di rumahnya, bersama ayahnya yang jatuh sakit karena sangat merindukannya, menyelidiki kasus kematian adiknya. Terkurung di Pulau Surga dan tidak bisa dihubungi, Jasya tidak tahu kabar duka ini, dia akan menanggung kesedihan yang tertunda.

Jasya harus pulang dengan selamat, tidak boleh menjadi korban seleksi alam. Jika dia juga pergi seperti ibu dan adiknya, entah apa yang akan terjadi pada 788. Huh, aku jadi mengkhawatirkan nasib keluarga ini. Aku mulai berharap bahwa kematian Robi memang hanya rekayasa, dan menjadi rahasia yang tidak akan pernah diketahui oleh Tim Wonderland selamanya.

SELEKSI ALAM 2 [END ✓]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora