Simulasi Jadi Bapak

3.1K 460 83
                                    

Pernah gak si kalian bangun tidur perasaannya jadi capek banget? Bukannya malah seger wkwkw

***

Few days later

"Vian... Vian... Vian..."

"Hah! Hah! Astaga!"

Vian mendadak bangun dari tidurnya dengan keringat dingin. Gerakan spontannya itu juga bikin Bintang yang terlelap ikutan kebangun.

"Ayah, kenapa?"

Sang suami ngusap wajahnya dan coba netralin napasnya. "Mimpi buruk. Tapi aku lupa mimpinya apa. Cuma rasanya kaya dikejar-kejar. Terus ada yang manggilin namaku terus-terusan."

Dengan inisiatif dan naluri sebagai suami, Bintang ngambil segelas air putih di nakas dan nyodorin Vian yang gemeteran. Vian nggak pernah mimpi seserem ini. Tapi Vian sendiri lupa detail mimpinya apa. Dia inget kalo dia dikelilingin banyak orang yang mukanya asing dan serem.

"Suaranya laki-laki atau suara perempuan?"

Vian ngegeleng. "Semua, nggak cuma satu suara. Banyak. Ada suara orang dewasa, nenek-kakek, anak kecil. Rame banget. Duh. Merindingnya masih kerasa."

Tangan Bintang mijit lengan suaminya pelan. "Udah, mungkin itu bunga tidur. Abaikan aja. Mungkin Ayah kecapekan, jadinya mimpi aneh-aneh. Besok kita jalan-jalan aja--"

"HUEEEE!"

Percakapan mereka diganggu oleh si kecil yang tiba-tiba masuk kamar. Perlu diingat kalau kamar mereka punya connecting door yang cuma dikunci kalau lagi 'berbuat'. Makanya si Abang kadang menyusup ke kamar.

"Abang kenapa?"

Bintang panik liat Jiwa lari sambil nangis histeris ke tengah orang tuanya.

"Takut! Nda! Yayah Nda!"

"Takut apa, Bang? Sini bilang Ayah,"

"Banyak olang! Selem!"

Bintang dan Vian ngelempar pandangan mereka. Mimpi yang mirip di waktu yang sama? Jelas buat Vian ini bukan bunga tidur. Walau dia berusahan untuk baik-baik aja, tapi dia tetep deg-degan soalnya kadang Jiwa tuh suka tajem insting-nya. Tau sendiri Jiwa punya 'kelebihan' khusus. 

"Ayah gapapa, Bang. Bobo sini aja, ya. Malem ini boleh bobo sama Ayah Bunda." Bintang meluk anaknya yang sekarang mulai tinggi untuk seusianya. 

"Yayah... hiks... cini... Nti diambil olang jahat!" 

"Nggak ada yang ambil Ayah dari Abang, kok. Nggak ke mana-mana ayahnya."

Nggak biasanya si Abang narik baju Vian erat. Vian nggak mau kelihatan panik di depan dua malaikatnya. Dia ambil alih gendongan Jiwa dan ngambil selendang gendong di gantungan pintu. Vian nimang-nimang Jiwa sampai bocah kecil itu tidur di dada ayahnya itu. 

"Lagi sayang-sayangnya sama Ayah ya, Bang..." Vian berbisik ke Jiwa yang udah terlelap. "Aku khawatir," gumamnya kecil. 

"Sama," jawab Bintang sambil nyiapin space di tengah buat Jiwa. "Aku nggak punya kemampuan buat memprediksi apa pun. Kita juga nggak tau soal makhluk gaib dan bukan indigo. Bukan sekali dua kali Abang ngerasain sesuatu yang ganjil. Tapi ini serem banget. Aku nggak mau percaya, tapi aku juga takut." 

Vian ngehela napas panjang. Tangan kirinya keulur buat ngelus kepala Bintang. Sejujurnya, Vian khawatir karena kalau dia kenapa-napa, Bintang bakalan terlibat sementara Bintang nggak tau apa-apa soal keluarganya. 

Jangankan Bintang, Vian pun bingung dengan apa yang sebenernya terjadi di keluarga ayahnya. 

***

Keesokan harinya, kegelisahan itu masih tergambar di raut muka Bintang yang hari itu nganter Jiwa ke sekolah dalam keadaan ngantuk berat, sementara Jiwa bertingkah biasa aja, kayak nggak ngalamin mimpi buruk semalam. Sekarang dia aktif main sensory play bareng temen-temennya dan berbaur kayak biasanya. 

Muchas Gracias - Finale Where stories live. Discover now