Kupu-Kupu Kertas

2.8K 467 53
                                    

Sibuk tapi ide berkecamuk.
Tonton video yang aku sematkan atau dengerin lagunya ya~

Full Vian-Bintang

***

"Wah, tumben Ayah Jiwa yang jemput."

Seorang guru muda mengantar Jiwa sampai ke selasar sekolah Jiwa. Beberapa ibu muda juga berbisik-bisik sewaktu Vian yang hari itu pake hoodie abu-abu, celana jeans, sepatu kets, dan rambut sedikit nyentrik bak remaja. Nggak keliatan kalo dia modelan bapak anak satu.

"Iya, Miss. Hari ini kebetulan bundanya Jiwa ada keperluan di bank. Saya juga ada banyak waktu luang, saya sempatkan jemput."

Belum berhenti ngomong, Jiwa yang hari itu pake seragam futsal mini warna biru lari kecil ke gerombolan anak yang main di ayunan. Beberapa dari mereka belum lancar bicara, tapi entah, mereka tetep bisa komunikasi dengan baik.

"Abang, yuk! Ditunggu Bunda di bank."

"Nda ambiw uwang?"

Vian ngangguk lucu sambil nyodorin tangannya buat gandeng Jiwa. Sebetulnya, Bintang pergi ke bank itu karena bermula dari kepanikan Vian. Ada rekening misterius yang ngirim uang hampir 300 juta ke rekening Vian. Bintang penasaran gimana bisa uang sebanyak ini masuk ke rekening Vian.

Semalam, mereka berdua ngecek sendiri dan pengirimnya nggak dikenal Vian. Cuma ada nama C. Rengkuan. Vian coba inget-inget lagi. Nama belakangnya sama. Tapi siapa C itu? Pas Bintang tanya buat lacak rekeningnya, pihak Bank bilang kalau nasabah minta namanya dirahasiakan, hanya nama keluarga yang ditampilkan.

Jiwa duduk di carseat-nya. Banyak ngoceh dan cerita tentang keseruan hari ini ke sang ayah, kayak gimana hari ini dia jadi kiper untuk timnya tapi dia juga ikutan maju buat cetak gol. Vian nggak bisa nahan senyum lebar karena nggak nyangka, Jiwa yang dulu masih bayi merah sekarang udah bisa main bola dan bersosialisasi sama temen-temen bocilnya.

"Yah, yayah dulu main bola?" tanya si bocah.

Mobil mereka berhenti di lampu merah yang terkenal lama banget di Simpang Pingit. Dia inget, dulu waktu Bintang lagi hamil dan mau cek kandungan, suka ngomel kalo kedapetan lampu merah di sini. Mana dulu mereka masih kemana-mana pake motor.

"Dulu? Oh, iya dong. Ayah main bola, jadi kiper bisa. Jadi penyerang juga bisa Ayah, mah."

"Wah! A-abang m-mau ain bola sama Yayah! Keyen!"

Vian senyum tipis. "Iya, nanti main bolanya ajak Bunda juga ya."

"No, no! Nda di pinggil aja. Bawa minyum cama lap kelinget!"

Si ayah ketawa. Bisa-bisanya Bintang jadi asisten perbolaan. Padahal Bintang juga dulu pas masih ngeband lumayan jago main bola.

Nggak lama kemudian, mereka sampai di bank swasta yang dituju. Setelah parkir, Vian ngegendong Jiwa masuk ke  bank berlogo biru yang satpamnya terkenal ramah. Jiwa yang jarang banget diajak masuk bank pun terkagum-kagum, apalagi denger suara mesin hitung uang.

"Yayah, ada uang. Nanti bikin yang banyak, bial bisa dihitung gitu."

Nasabah lain senyum-senyum. Ya siapa yang gak pengen ketawa. Masak duit bisa bikin sendiri. Dikira duit tinggal nge-print, aneh-aneh aja si abang.

"Oh, baru aku mau telpon minta jemput. Udah di sini ternyata."

Bintang keluar dari bilik layanan nasabah dengan wajah ceria karena disambut suami dan anaknya. Jiwa langsung lari dan meluk Bintang yang nyambut dengan jongkok dan merentangkan tangannya.

Muchas Gracias - Finale Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora