Yang Vian Nggak Tahu (3-End)

2K 343 82
                                    

Mari manfaatkan waktu kosong buat nyicil chapter wkwk

Masih fokus sama Vian. Ini last chapter dari seri 'yang Vian Nggak Tahu' yaaa.

cw feminization 

***

Sehari setelah Vian tahu semua tentang keluarga dari pihak Papa Jansen, Mama Asri betul-betul dateng ke Manado, Airmadidi lebih tepatnya. Ambil penerbangan paling cepet. Vian dan Om Bobby sendiri yang jemput dari Airmadidi ke bandara. Vian yang masih pusing sama fakta baru soal mamanya, nggak berani nelpon semalem.

Bahkan dia nggak bisa tidur. Sampe harus dipeluk dan dielus-elus Bintang dulu baru bisa nyenyak. Pas pagi, Bintang juga ngelarang Jiwa bangunin ayahnya itu.

"Abang main sama Opa dulu ya, Ayah bangun siang hari ini. Kasihan nggak bisa tidur..."

Jiwa ngangguk doang dan ngerespon jawaban yang lagi-lagi bikin Bintang ngehela napas. "Oh, iya ya Bun, Ayah capek abis ketemu olang banyak, ya? Enelginya kesedot. Sluuurppp gituuu..."

Padahal Bintang, Vian, bahkan Om Bobby belom cerita apa-apa. Kalo kata Om Bobby, prinsip Jiwa itu 'tetap gemas walau situasi sedang ketar-ketir' :)

Kembali ke bandara, Vian gelisah. Dia tahu, mamanya sering bolak-balik sendirian, antarkota, antarpulau, bahkan kalau ada konferensi di luar negeri, beliau berangkat sendiri. Tapi kali ini beda. Kekhawatiran Vian lebih ke gesekan konfliknya dan Mama Asri. Seumur hidup dia nggak pernah bermasalah sama mamanya, paling pol soal berantem masalah susah dibangunin atau Vian main tanpa izin. Sisanya masih dalam tahap aman, karena meskipun sibuk di RS, Mama Asri nggak pernah lupa perannya sebagai mamanya Vian. 

Dari jauh, Vian bisa ngeliat mamanya kebingungan di pintu kedatangan. Malah Om Bobby duluan yang nunjukin tempat Mama Asri berdiri. 

"Kalau kita tau ngana pe Mama bingung bagitu, kita cetak banner selamat datang dulu, ish!" omel Om Bobby. "Tapi, baiknya ngana dulu yang ketemu. Om di sini, biar ngana pe mama nyanda khawatir..." 

Tiga tepukan di bahu Vian menandakan bahwa Vian harus sesegera mungkin jemput mamanya. Ah, rasanya udah lama banget nggak ketemu mama. Padahal tiap hari juga mereka biasanya chatting-an saling tanya kabar, meski sekarang Bintang yang lebih banyak berkomunikasi sama mertuanya itu. 

Makin dekat, Vian bisa lihat wajah sembab Mama Asri dan tatanan rambut perempuan paruh baya yang terkesan seadanya itu.  Padahal sehari-harinya, Vian selalu lihat mamanya rapi dengan rambut dicepol dan bibir berpulas merah kecokelatan. Kali ini beda. Vian ngerasa bersalah, sekacau ini ya, Mama Asri kalau tanpa dia, pikirnya. 

"Mama..."

Panggilan Vian itu bikin Mama Asri berpaling dari deretan koper penumpang di ujung lain. Biasanya Mama Asri bakal langsung ngomel panjang lebar dengan bahasa Sunda dan nada bicara khas mama-mama. Tapi kali ini beda. Mamanya cuma senyum tipis tapi dengan mata sendu. 

Vian, si bongsor itu menghambur ke pelukan seseorang dengan nama lahir Asri Esih Marini (sebelum menikah dan lebih akrab dipanggil Bu Asri Rengkuan--nama belakang almarhum suaminya), dokter forensik yang terkenal punya mental baja, single mom yang membesarkan anak laki-laki baik hati. Namun, ia tak menyadari jika sang anak punya bagian lain yang 'hilang', bagian yang harus dia temukan sendiri. 

"Mama maafin Vian. Vian nggak nurut sama Mama..." tangis Vian pecah. 

Untung Jiwa nggak lihat adegan ini. Kalau lihat, pasti si kecil bakal nepuk-nepuk kaki ayahnya, nyodorin tisu dan bilang 'No no cry... no no cry...'. 

Muchas Gracias - Finale Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang