-25 Dimensi waktu, seutas janji.

58 30 114
                                    

Jerit tangisan menggema aroma anyir darah menyengat genangan cairan merah membanjiri lantai. Daging serta kulitnya terpisah, kaki serta tangannya pun sudah tak utuh lagi, potongan tubuh manusia berserakan di setiap sudut ruangan. Jiwa yang lemah telah tiada pergi tak mungkin kembali.

"Kau telah lenyap Murni, temani adikmu itu di neraka. Lain waktu aku menyusul." Milka menatap mayat itu dengan pandangan yang sulit diartikan.

Entah berapa banyak nyawa melayang karena ulahnya, Milka sama sekali tak pernah merasa bersalah. Ia telah berjanji kepada sang Bunda untuk terus membunuh, baginya jeritan memohon ampunan merupakan melody yang merdu untuk di denger.

"Kekasihmu telah memberiku banyak uang, kau harus mati Ardila," ucap Milka seraya menodong pistol kearah kepala gadis itu.

Tetesan air mata pertanda dirinya telah pasrah, melawan, menangis sekerasnya rasanya percuma. Cengkraman Milka terlalu kuat, siapapun yang ia tangkap mustahil terlepas. Perannya layaknya malaikat pencabut nyawa.

Petir menggelar menyambar bersahutan hujan deras mengguyur bumi, angin berhembus begitu kencang. Nuansa mencekam menyelimuti peluru itu menembus kepalanya, lagi dan lagi darah mengalir aromanya amis bercampur busuknya kematian.

Malas rasanya berhadapan dengan manusia lemah tak bernyawa, ah itu merepotkan!!! Haruskah dikubur dibawah lantai kamar mandi? Atau dibelakang rumah saja? Milka harus memutar otak agar sampah itu segera lenyap jika tak ingin mendapatkan masalah.

"Jujur aku tidak menginginkan uang, untuk apa? Ayahku sudah kaya raya. Aku hanya mau melihatmu berlumpur darah, bestie. Kau nampak begitu manis." Milka tertawa terbahak-bahak ia begitu bahagia telah membunuh dua orang sekaligus tanpa bantuan siapapun.

Milka mulai mengumpulkan bagian tubuh Murni, ia meletakannya di sebuah peti besar. Kepalanya sedikit pusing sang kekasih tak dapat di hubungi jujur Milka kewalahan mengurus mayat tak berguna itu seorang diri.

"Kalian berdua merepotkanku, sudah mati saja masih menjadi beban. DASAR TIDAK BERGUNA!!!"

Dibawa rindang pepohonan, ditengah guyuran hujan Milka mulai menggali makam untuk membuang sampah itu, ia berharap dua orang Itu tidak berubah menjadi hantu pendendam sebab kalau mati yah mati saja jangan menganggu.

Sebab Milka tak bisa membunuhnya untuk keduakalinya.

****

"Maafkan aku Ranting, tak bisa menepati janjimu untuk menguburkan jenazahmu di tempat yang layak."

Milka menaburkan bunga warna warni ke atas makam bertuliskan Ranting Delima. Rasa bersalah mengusik hati, gadis sebaik Ranting harusnya tak pantas nyawanya berakhir tragis begitu. Mau bagaimana lagi, membunuh adalah perkejaannya, tanggungjawabnya.

Terkadang dunia terlalu kejam, banyak tikaman hinaan, ucapan mematikan mental membunuh secara perlahan-lahan, salahkah jikalau Milka membantunya agar terbebas dari semua luka?

"Adik-adikmu baik-baik saja, mereka nampak sedih kehilanganmu terkadang menangis setiap hari. Bunga sering ketakutan, Bulan kesepian, aku tak bisa menemani mereka setiap waktu. "

Aroma tanah seusai hujan bercampur dengan harumnya bunga, tanang dan nyaman. Entah mengapa Milka menangis tersedu berlinang air mata, bukan nyawa saja yang ia renggut tetapi senyuman malaikat kecil yang tak bersalah.

"Kak Milka kenapa menangis?" Tanya seorang gadis mungil bernama Bulan, ia menghapus air matanya serta ikut duduk di sampingnya.

"Ini rumah Kak Ranting, Kakak kalian sudah tenang di surganya Tuhan, " ucap Milka serasa memeluk erat Bulan.

Seolah memilki hubungan yang terikat deket, perasaan aneh, pedih tak bisa diucap kata.

𝐷𝑖𝑚𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑊𝑎𝑘𝑡𝑢Donde viven las historias. Descúbrelo ahora