1. Ibu Ratna

723 15 9
                                    

Ratna duduk tenang di depan anak mantunya. Wanita paruh baya berambut pendek sebahu itu meraih gelas kopi yang ada di atas meja. Kopi itu buatan Aika. Dia tak kuasa sekedar mengangkat kepalanya di depan ibu mertuanya itu.

Angin tiba-tiba saja berhenti berhembus, wajah Aika yang mulai merah karena panas dan malu semakin merah. Ibu mertuanya itu tak mengatakan apa-apa. Dia hanya diam memperhatikan wajah Aika dan semua gerak-geriknya.

Aika menelan ludahnya kasar, sikap mertuanya itu, jelas saja menyiksa dirinya. Bagaimana tidak, dia tidak diajak bicara sejak setengah jam yang lalu.

"Jadi, kamu Aika atau Aira? Wajah kalian berdua sangat mirip, ah aku lupa kalau kalian kembar. Jadi, selama ini, siapa yang selalu datang bermanis muka di depanku?" Pertanyaan pertama Ratna membuat jantung Aika mau copot. Dia menarik napasnya sebentar sebelum membuangnya. Wajah dingin Ratna kini menoleh ke arah Mario yang berdiri di belakangnya.

"Gadis ini yang kau hamili, Rio?" tanya ibunya dingin.

"Ma, ini Aika, istrinya Arbie," sahut Mario pelan. Dia tak ingin menambah rasa kesal di hati ibunya yang bisa meledak kapan saja.

Ratna mendengkus kesal.

"Kau Aika? Atau Aira, semua sama bagiku!! Kau harus tunjukkan padaku, perasaanmu yang sesungguhnya padaku. Apa kau mencintain Arbie, atau menikah dengannya karena terpaksa?"

Aira tak bisa menjawabnya, dia juga tak berani mengatakan pada ibu mertuanya itu sebuah cinta. Karena selama ini, dia hanya menjadi cadangan untuk kakaknya.

"Cinta bisa tumbuh, Bu," sahut Aika pelan. Jantungnya berdebar kencang sampai hampir akan loncat dari rongga dadanya. Dia menatap wajah Ratna sekilas sebelum menunduk lagi.

"Apa kau melakukan ini, untuk menjadi gold digger di keluarga ini?" tanya Ratna lagi.

"Saya tidak pernah berniat menjadi seperti yang ibu tuduhkan. Saya..."

"Kalau bukan, lantas apa?" tanya Ratna lagi. Urat leher Ratna menegang, dia mengepalkan tangannya kuat. "Kalau memang kau bukan pencari keuntungan dan menginginkan harta ini, hiduplah dengan melarat! Jangan berharap, aku akan mau membantu kamu. Kau bukan menantu di keluarga ini! Kau cuma wanita cadangan yang mengisi kursi kosong di pelaminan! Awas saja kau berani membuat anakku jatuh hati padamu!" Ratna beranjak dari duduknya, dia berjalan meninggalkan Aika sendirian. Mario mau tak mau harus mengikuti ibunya itu.

Air mata Aika menitis pelan, dia tak pernah merasa sesakit. Kalau saja bisa, dia mungkin akan memilih lari. Namun, Arbie, bagaimana dengan Arbi dan semua kebuccinannya?

Laki-laki 28 tahun itu, tidak pernah mempermasalahkan siapa yang dahulu menjadi pacarnya. Karena baginya, yang terpenting sekarang, siapa yang menjadi istrinya. Dia sangat mencintai istrinya lebih dari siapa pun. Keraguan sempat melanda hatinya sekali, tetapi melihat sikap Aika yang selalu ceria dan mendukungnya apa pun yang terjadi. Dia tidak pernah lagi meragukan Aika.

Dia datang untuk menjemput istrinya di rumah ibunya. Demi dilihatnya Aika duduk di kursi taman, dia langsung berjongkok di sampingnya.

"Hei, sayang? Kenapa duduk di sini?"

Aika buru-buru menoleh dan mengusap air matanya. "Ya, Mas? Iya, pemandangan di sini cantik, lagi pula kan aku harus sering-sering mandi matahari biar kakiku ini cepet sehat," sahut Aika dengan senyuman yang mengembang.

"Aika nangis?" tanya Arbie keheranan menatap wajah istrinya.

"Ngggg nggak, kok, tadi, ibu, eh, mama yang ajak Aika duduk di sini, rasanya baru pertama kan, mamah mau ajak Aika ngomong, jadi, terharu gitu, Aikanya."

Arbie segera berdiri, dia membantu istrinya itu beranjak dari kursi. Dia membopong wanita cantik yang sedang cidera itu dengan kedua tangannya.

Baru-baru ini, dia kalah bertanding, kakinya tiba-tiba mengalami cidera serius akibat pukulan telak lawannya di titik yang sama berulang-ulang. Karena cidera itu, dia harus memakai gips untuk dua minggu kedepan.

"Kamu kalau kayak mumi gini jadi lebih gemesin, Dek," bisik Arbie di telinga istrinya.

"Mas mau gendong Aika sampai atas?"

"Hm, sampe lift, deh!"

"Pakai kursi roda aja, nanti semua orang senyam-senyum ke kita, Aika malu!"

"Kamu kalau udah malu-malu cantik banget, Dek."

Aika tertawa kecil, dia mengeratkan pelukan di leher suaminya itu. Baginya, memang tak terlalu penting, apakah ibu mertuanya, mirip nenek lampir atau nenek sihir. Karena dia memiliki suami sebaik dan sesabar ini.

Laki-laki yang tak pernah mengungkit apa-apa. Dia menerima Aika apa adanya di dalam hatinya. Walau kadang, dia juga tidak percaya, kalau gadis yang dia nikahi bukan kekasihnya. Namun, sikap baik Aika berhasil melelehkan dinding di hatinya.

"Kalian lupa kursi rodanya." Seorang pria berpakaian hitam-hitam datang. Dia mendorong kursi roda Aika di dekat Arbie.

"Ed, bisa pencetkan lift itu?" titah Arbie tak menggubris perkataan ajudannya itu sebelumnya.

"Baiklah, bos, sebentar."

Aika melirik ke arahnya, laki-laki itu diam saja menuruti perintah bosnya. Dia juga membantu memegangi kursi roda saat Arbie menurunkan Aika.

Aika menoleh ke arah Edward, mereka berpandangan sebentar. Edward, nama laki-laki itu, dia mundur selangkah, mempersilahkan bosnya naik ke lift. Sementara dia, kembali ke posnya. Mata Aika masih terus menatap ke arah Edward, sampai pintu lift tertutup.

Di rumah besar itu, Arbie dan Mario tinggal bersama orang tuanya. Rumah itu memiliki 5 orang satpam, 5 pembantu rumah tangga, seorang kepala asisten rumah tangga dan 5 asisten pribadi untuk masing-masing orang yang ada di sana. Dan juga 4 ajudan yang bertugas bergantian.

Dan Edward, adalah salah satu ajudan yang ada di rumah besar itu. Dia orang kepercayaan Surya. Dia menangani banyak hal, sejak Mario ditunjuk untuk mulai menggerakkan bisnis Ayahnya, dia lebih sering mengikuti Mario ke mana-mana. Edward hanya ada di sana ketika hari libur, atau malam hari.

"Aku dengar, kau kenal baik dengan Ed? Apa benar, Dek?" tanya Arbie lembut. Dia menyadari istrinya sejak tadi hanya menatap ajudannya.

"Hm... Iya, kita pernah satu tempat latihan." Aika menyahut ragu-ragu. Suaranya pelan, hampir tak terdengar.

"Dia orang yang seperti apa?" tanya Arbie lagi. Ekspresi Aika terlihat tidak menyakinkan, dia seperti sedang menutupi sesuatu. Arbie mengelus pundak istrinya pelan. Dia mencondongkan tubuhnya dan menatap wajah Aika lekat-lekat.

Aika memutar badannya, mengintip ekspresi suaminya itu. Dia meneleng dan mengerling genit pada Arbie. Laki-laki 28 tahun itu tersenyum. "Astaga, manis sekali. Bikin gemas."

"Jadi, mama aku bilang apa sama kamu?" tanyanya lagi. "Apa mau cerita di kamar?" lanjutnya, masih dengan senyuman manisnya.

"Di kebun binatang aja gimana?" sahut Aika. Dia meletakkan dua tangannya di pipi suaminya.

"Bilang saja, apa mama bikin kamu sedih?" Kali ini Arbie bertanya lebih serius.

"Dia bilang, aku harus hamil, biar diakui sebagai mantu di sini," kata Aika serius.

Arbie terdiam, dia tak ingin melanjutkan perbincangan itu. Dia menegakkan badannya, pintu lift sudah terbuka. Tanpa banyak bertanya, Arbie mendorong kursi roda itu pelan ke kamar mereka. Dia berhenti sebentar di depan pintu kamarnya. Tangannya menekan kombinasi nomor dan pintu pun terbuka. 

Pengantin Cadangan 2Where stories live. Discover now