45. Luka ini...

48 1 0
                                    

Angin malam membelai lembut wajah wanita cantik yang sedang menyendiri di atas balkon. Pandangan matanya mengawang pada gedung-gedung tinggi yang ada di depannya. Beberapa kali, dia menghela napas, lalu menunduk dalam. Perasaannya tak bisa dia ungkapkan sekarang, entah bahagia atau bersedih atas kejadian yang menimpa suaminya. Dia hanya diam, menatap malam yang semakin dingin.

Seorang berdiri di sampingnya, dia menyampirkan jaket ke pundak Aika. 
Wanita cantik itu menoleh, menatap datar pada laki-laki yang kini ada di sampingnya. Laki-laki itu hanya tersenyum kecil. Dia mengambil gelas kopi di tangan Aika. 

"Aku tahu kau sedang stress, tapi tolong jangan minum kopi, pikirkan bayimu itu," katanya pelan. Dia menenggak kopi yang hampir dingin itu sampai tandas. Lalu menyeka bibirnya dengan keren sambil mengerling ke arah Aika.

"Apa kau tidak ada kerjaan, Ed?" tanya Aika pelan. Mata wanita cantik itu merah dan berair. Dia mencoba menahan tangisnya sekuat tenaga di hadapan laki-laki yang pernah menjadi tambatan hatinya itu. 

"Kau tahu, aku ingin sekali memelukmu sekarang, Ka. Tapi, aku tidak bisa melakukannya. Jadi, tolong jangan memasang wajah mengenaskan itu di hadapanku. Aku tidak akan terpengaruh," kata Edward sambil menyodorkan sebuah saputangan padanya.

"Kau kejam, Ed."

Suara tangis Aika perlahan mulai terdengar. Dia memalingkan wajahnya, mencoba mengusap air matanya. Seseorang datang menepuk pundak Aika pelan. Wanita cantik itu mengangkat kepalanya, lalu menoleh.

"Kau bisa pakai pundakku untuk menangis sepuasmu, Aika."

Aika menggeleng pelan, sambil mematut senyum.

Ryu mengusap puncak kepala Aika lembut. Perlakuan itu membuat air mata Aika semakin deras. Dia tidak mampu menahan tangisnya lagi. Kedua pria itu hanya diam di samping Aika dan membiarkannya menangis.

Sesekali, Edward menatap orang-orang yang mulai berbisik-bisik menatap ke arah mereka. Dia menaruh jari telunjuknya di bibir, memberi isyarat, agar mereka diam dan tidak berkomentar. 

"Sebaiknya, kalian segera masuk, udara makin dingin, Aika bisa flu jika terus berdiri di sini," kata Edward pelan. Dia langsung berjalan meninggalkan keduanya. 

Ryu memegangi kedua pundak Aika dan mendorongnya kembali ke kamar Arbie. Dia terus mendorong Aika tanpa memedulikan orang-orang yang melirik ke arah mereka berdua. 

"Tuan Anemon, aku malu!" kata Aika lirih. 

"Nona Tupai, harus segera menemui pangeran, si pangeran kodok sebentar lagi bangun dan mencarimu."

"Dia terlaku ganteng untuk dikatai kodok oleh anemon laut sepertimu!" protes Aika.

"Hahaha, aku yang ganteng ini saja kau katai anemon, lalu, suamimu yang tukang nasi goreng itu, masa gak boleh aku sebit kodok?"

Aika mengepalkan tangan di hadapan Ryu, " apa kau sudah bosan menjadi Abang iparku?"

"Hehehe, santai Nona Tupai, sekarang masuklah, dan temui Ubur-ubur kesayanganmu itu!"

"Astaga!" Aika memilih pergi meninggalkan abang iparnya itu.

"Kalian, baik-baiklah di dalam sana, jangan sampai berkelahi ya. Kasian, Arbie pasti kalah telak kalau kau ajak berkelahi sekarang."

Aika berhenti, dia berputar dan menatap wajah abang iparnya itu dalam-dalam. "Pantas aja Aira jatuh hati padamu, Bang."

"Tentu saja, karena aku Tuan Anemon yang baik hati. Sekarang pergilah, dan hapus air matamu itu. Tuan Anemon akan berjaga di sini, panggil saja jika butuh sesuatu. Oke?"

Aika tak menjawabnya, dia tersenyum kecil. Perasaannya jauh lebih baik setelah bertemu Ryu.

"Bayimu itu, harus dijaga, Aika. Walau kau terlihat baik-baik saja sekarang, kita gak pernah tau apa yang akan terjadi besok. Jadi, kau harus istirahat dengan baik, Aika. Pergilah ke kamar suamimu dan hiburlah dia. Tetaplah di sampingnya, karena itu baik untuk kalian berdua."

Pengantin Cadangan 2Where stories live. Discover now