32. Adik untuk Angkasa

98 4 0
                                    

Rasa rindu yang menggebu membuat Arbie mempercepat gerakan tangannya. Dia tidak menerima pesanan lebih dari jam delapan malam. Alasannya, siapa lagi kalau bukan Aika.

Tak melihat wanita cantik itu seharian penuh hampir membuatnya gila. Dia mulai memikirkan Edward yang mungkin saja akan menggoda istrinya saat dia tidak di rumah.

Arbie tancap gas, langsung menuju rumah. Sebelum pulang, tak lupa, dia membeli buah tangan untuk istrinya, roti Zouka hangat rasa cokelat.

Sejak hamil, Aika suka memakan roti itu. Itu jugalah yang membuat berat badannya bertambah. Dia bisa merenggek saat tidak dibelikan makanan kegemarannya itu. Mengingat ekspresi lucu Aika, membuat Arbie tersenyum.

"Aikaaa!" panggilnya dari depan pintu. Dia tahu kode akses kamarnya, tapi dia ingin Aika berdiri di depannya dan memeluknya erat.

Benar saja, wanita cantik itu membuka pintu kamarnya. Dia mengenakan baju tidur seksi berbahan satin berwarna hitam.

"Ah, cantik sekali," pujo Arbie.

"Jangan salah sangka, bajuku habis kena pipis Angkasa dan Runi."

Arbie tak peduli, dia langsung membopong Aika menuju sofa. "Boleh ya?"

Aika memukul dada suaminya pelan, "duh kenapa, sih kok, ganjeng sekarang?"

"Hm, setelah dipikir-pikir, ini karena termakan godaanmu, sayang," ucapnya lembut.

Mereka berdua hanyut dalam lautan cinta, gelora yang sudah sekian lama tidak dilepaskan, akhirnya bisa ditunaikan hari ini. Arbie mengecup puncak kepala Aika sedikit lebih lama dari biasanya.

"Makasih, ya, Mas akhirnya lega."

"Lega apanya?"

"Ya lega, Aika banyangin berapa lama Mas harus menahan semuanya?" tanyanya serius. Dia mengecup jemari Aika yang masih ada di gengamannya.

"Kemaren, sampai dua tahun bisa tahan, tuh!" sahut Aika memulai pertikaian.

"Dedek gitu!! Suka mengungkit masa lalu!" protes Arbie dengan nada yang dibuat lucu.

Alih-alih marah, keduanya malah larut dalam tawa dan lanjut part dua. Namun, belum sempat melanjutkan aksinya, Aruni terjaga.

"Maaf ya, Mas. Anakmu manggil."

"Ai, nanggung ini!"

Aika hanya tersenyum ke arah suaminya.

...

Wajah Arbie ditekuk pagi-pagi sekali. Setiap pagi, selepas memandikan Angkasa dan Aruni, istrinya langsung turun ke dapur. Dia harus menyaksikan sang istri dan iparnya menyiapkan sarapan dibantu oleh dua orang pembamtu rumah tangga. Seperti biasa Surya dan Ratna bermain bersama cucunya dan mengabaikan Aika dan Aluna yang sedang berdiri di depan kompor.

"Apa kau akan membiarkan istrimu terus-menerus menjadi pembuat sarapan, Mas?" tanya Arbie pada abangnya.

"Aku, sih, senang-senang saja, toh Aluna terlihat bahagia dengan pekerjaan barunya."

"Bahagia gimana? Wajahnya saja datar."

"Lihat, alisnya terangkat sedikit, sudut bibirnya juga naik sedikit, itu artinya dia senang dan bahagia."

"Kau gila, bagiku, Aluna hanya menatap kita datar-datar saja. Dia pasti tertekan!" Arbie memaksakan pendapatnya pada abangnya itu.

"Itu, Aika. Kalau udah suram aja mukanya, senyumnya hilanh, itu baru malapetaka," jelas Mario sambil tertawa.

"Ya Tuhan!"

"Mas ini kenapa? Ini rotinya," kata Aika sambil meletakkan roti bakar untuk suaminya.

"Ai, hari ini ikut ke resto ya? Pliiis," rengek Arbie. Dia memasang wajah memelas di depan istrinya, agar Aika mau ikut dengannya ke restoran.

"Iiih, enak banget, Papa!" kata Ratna menirukan suara bayi. "Masa aku mau ditinggal ama nenek!" katanya lagi.

Aika tersenyum saja mendengarnya. Seharian kemarin, Ratna mengajak Angkasa dan Aruni bermain. Dia juga harus memikirkan jawaban untuk diberikan kepada ibunya yang juga ingin bermain bersama anak kembarnya.

"Umi udah nelpon tadi malem, Ma, katanya pengen main ama anak-anak juga." Aika menyahut, dia pun berjalan menuju ibu mertuanya itu. Jus sehat yang baru dia buat, ditaruh di depan ibu mertuanya.

"Buat Papa mana, Aika?" tanya Surya.

"Bentar ya, Pa."

Aluna datang dengan segelas kopi untuk Surya, bapak mertuanya. Kedua orang tua itu tersenyum menatap kedua mantunya yang begitu gesit dalam melayani mereka.

"Jadi, kalian kapan ne, Mar?" Pertanyaan Ratna membuat Mario menoleh ke arah ibunya. "Aika ne, udah kasih dua cucu, kamu kapan?" kejar ibunya.

"Sabar, dong, Ma. Masih banyak projek yang libatin kami berdua, belum sempat untuk bikin anak," jawab Mario asal.

"Astaga! Emang gak bisa gitu, rapatnya ganti ke kasur?"

Pertanyaan Ratna membuat wajah Aluna merah. "Untuk sekarang, biar menjadi giliran Angkasa dan Aruni untuk mendapat kasih sayang nenek dan kakeknya, nanti, kalau mereka berdua sudah sedikit lebih besar, akan segera menyusul anak-anak kami, agar diberi kasih sayang yang sama." Perkataan diplomatis dari Aluna membuat suaminya takjub.

"Baru kali ini aku denger dia ngomong panjang, Mar," kata Arbie setengah berbisik di telinga abangnya.

Perdebatan kecil, petengkaran singkat, menjadi warna di dalam rumah itu. Mereka tertawa di pagi hari sampai seseorang mengacaukan kebahagiaan kecil yang sangat langka itu.

"Bos, saya mau resign."

Mata semua orang tertuju pada pria muda yang berkemeja hitam itu. Dia mengusap wajahnya pelan dan memasang wajah serius di hadapan semua orang.

"Lu kesambet apa Ed?" tanya Mario serius daia berdiri dan menghapiri ajudannya itu.

"Hans akan kembali bermain di dunia akting, sudah saatnya saya kembali..."

"Lu gak boleh pergi ke mana-mana!" potong Mario cepat. "Kita masih banyak pekerjaan."

"Nggak ada kan?" tanya Edward lurus.

Aika berjalan ke arah Edward. "Ada," katanya pelan. "Jagain anak-anak aku."

"What? akhirnya kau mau menerima aku, Ka?" tanya Edward serius.

Kericuhan pun terjadi karena pertanyaan itu. Aika dan Aluna pun tertawa lepas melihat tingkah aneh ketiga laki-laki yang sudah saling mengenal lama itu.

"Mama punya anak perempuan satu lagi, dong, Ma. Biar anak ini tidak bisa pergi dari sini," protes Mario yang masih tidak rela ajudan kesayangannya itu memilih resign.

"Sudahlah, biarkan saja, toh, dia memilih jalannya sendiri." Ratna tidak terlalu tertarik dengan perdebatan anak-anaknya. Dia pun membawa Angkasa dan Aruni ke kamarnya.

"Ma, boleh Aika aku bawa hari ini?" tanya Arbie pada ibunya.

"Boleh, tapi awas aja kalau bikin adik! Kasian ini bayi masih kecil! Jangan lama-lama perginya!" tegas Ratna.

Aika dan Arbie berpandangangan, "sepertinya, ibumu memang punya insting yang bagus." Aika menepuk pundak suaminya. "Udah mau berangkat kan?"

"Iya, mau ambil tas dulu di kamar."

Aika mengikuti langkah suaminya menuju kamar. Sesampainya mereka di depan pintu kamar. Arbie menarik tangan istrinya. "Plis sebentar aja, boleh ya, Ka?"

"Ini masih pagi, Mas."

"Kamu mulai banyak alasan, Ka."

"Mas juga dulu suka gitu, pas Aika pengen banget malah ada aja alasannya. Yang capeklah, yang pusinglah, yang lemeslah. Ada aja alasannya. Kenapa sekarang malah nyebelin gini?"

"Karena aku mau kamu sekarang, Ka."

Aika mengerjap beberapa kali, dia tidak mungkin membiarkan suaminya uring-uringan seharian. Dia harus mendamaikan hati suaminya itu.

"Mumpung Angkasa sama neneknya, Ka. Pliiiis."





Pengantin Cadangan 2Where stories live. Discover now