15. Jangan Pergi!

117 7 8
                                    

Aika bangkit dari bath tube seakan tak peduli dengan laki-laki yang berstatus suaminya itu. Dia meraih bath rope dan mengikatkan talinya dengan tenang.

"Kalau dipikir-pikir, aku ini memang tidak layak jadi istri ya, maaf ya, sudah bikin Mas khawatir. Lain kali, Aika akan bilang dulu sebelum pergi."

Arbie tak bisa berkata-kata mendengar ucapan maaf dari Aika. Wanitanya itu berjalan mendekat dan melepaskan cincin pernikahan mereka yang kebesaran di jarinya dan meletakkannya di tangan Arbie.

"Maaf ya, sudah sangat merepotkan Mas selama ini," kata Aika lagi.

Dia mengambil baju-baju dan mengambil pakaiannya. Lalu meraih ransel busuknya dan pergi begitu saja. Semua barang lainnya dia dapatkan dari Arbie kecuali sejumlah barang yang dia beli dengan tabungannya. Bahkan ponselnya juga dia tinggalkan begitu saja.

"Ka, kau mau ke mana?" tanya Arbie dengan suara bergetar.

"Aku mau pergi, terima kasih atas semua pengalaman berharga yang sudah Mas berikan selama ini. Aku akan melanjutkan gugatanku, tak apa, aku tak meminta apa-apa. cukup bebaskan saja aku dari ikatan ini," kata Aika menahan tangisnya.

"Kau mau ke mana di hari hujan seperti ini?" bentak Arbie. "Aku perintahkan kau masuk ke kamar sekarang!"

Suara teriakannya itu membangunkan seisi rumah.

Aika menghela napasnya, mengabaikan perkataan Arbie dan tetap pergi dari rumah itu. Laki-laki itu mengejarnya, "tolong tinggallah!'

"Kamu laki-laki yang baik, pintar, tampan, dan kaya raya. Dengan melepaskan aku, kau akan memiliki kesempatan mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dariku, lebih sabar dalam menghadapi ibumu."

"Apa yang terjadi!" Ratna berdiri di ambang pintu dengan kimononya. "Kenapa kalian berdua malah ujan-ujanan, kalau mau berantem di dalemlah, malu diliatin orang."

"Bu, Aika pergi ya?" kata Aika. Dia mencoba melepaskan tangan Arbie. Namun, laki-laki itu malah menangkapnya dan membawanya ke dalam rumah. Dia tak peduli pada Aika yang meronta minta diturunkan.

"Bawa ibu ke kamarnya!" titahnya pada para penjaga yang kini memegangi tangan Aika dan membawanya ke kamar.

Arbie mengikuti mereka dengan tenang tanpa berkata-kata.

Tubuh Aika dilemparkan begitu saja ke dalam kamar, Arbie memerintahkan para penjaga keluar. Dia mengunci kamar dan mencopot kuncinya. Dan membuangnya ke sembarang arah agar tak ada yang menemukannya.

Aika menatapnya nanar. Dia diam saja tak ingin berbicara apa-apa.

"Ayah akan merubuhkan restoran itu jika kita berpisah, apa kau setega itu padaku? Kau mau menghancurkan impianku untuk memiliki usahaku sendiri?" kata Arbie dengan suara bergetar.

Aika menoleh, "jadi aku dipertahankan karena restoran itu?" Aika tertawa getir. "Baiklah, bodoh sekali aku, ha-ha-ha."

Tawa Aika membuat Arbie tergidik ngeri. Sepanjang malam, Aika mengabaikannya, dia juga tak peduli pada kunci kamar yang hilang entah ke mana. Wanita itu tidur di sofa, dengan selimut tipis.
.
Pagi-pagi sekali, Aika sudah terjaga, dia keluar dari kamarnya dengan kunci cadangan yang dia simpan di laci nakas. Aika melirik pada ponselnya sebentar, lalu mengabaikannya. Iphone 14 yang baru Arbie beli sebulan lalu untuknya itu tak lagi menjadi hal menyenangkan untuk dibanggakan. Aika mengambil ponsel usangnya. Dia membuka dan menghidupkan ponsel usang yang dia beli dengan uangnya sendiri.

Pakaian indah tidak dia pakai kali ini, hanya celana lusuh dan kemeja flanel kusut menempel di tubuhnya.

"Mana kartu Mama?" tanya Ratna.

"Oh, ini, Ma." Aika meletakkan struk dan kartu hitam milik ibu mertuanya.

"Kamu kenapa pake baju kumal begitu? Bukannya bajumu banyak di dalam lemari?" tanya Ratna sinis. "Walau kau sedang patah hati, atau habis berkelahi dengan suamimu, jangan seperti orang susah begitu! Ganti bajumu!" kata Ratna lagi.

"Bukannya disuruh idup melarat ya, Ma? Kan cocok gini, dah kek, pembantu gitu," sahut Aika datar.

"Aiiika!" bentak Ratna.

"Kenapa, Ma?"

"Saya nggak bermaksud begitu! Maksud saya, jangan ambil hati Mario! Jangan dekati dia!"

"Ah, Bang Mario? Aika nggak selera lagi, Ma. Keduanya sama saja, tidak menarik!" kata Aika datar. Dia membuatkan jus untuk ibu mertuanya seperti biasa. Roti lapis berisi sayur untuk Mario dan roti bakar rasa madu untuk Arbie. Tak lupa kopi hitam dan nasi goreng untuk bapak mertua. Dan air putih dan sekeping biskuit untuk dirinya sendiri.

Meja makan terasa sangat dingin, tak ada cerita dari Aika tentang ibu penjual seblak di pojokan gang depan rumah mereka. Atau celotehnya tentang tukang sayur yang baru saja membeli tiket umrah. Aika diam saja, dia langsung berdiri setelah mengunyah sekeping biskuitnya.

Arbie diam memperhatikan gerak-gerik Aika yang tengah membersihkan dapur. Dia berdiri, membelah roti pinggangnya dan memberikan setengahnya untuk Aika. Aika menoleh, "makasih, aku kenyang."

Dia meninggalkan Arbie begitu saja, tak ada yang peduli dengan sikap Aika. Walau mereka tahu, malam tadi Arbie dan Aika berseteru.

Mario juga diam saja, perhatiannya pada Aika akan membuat adik iparnya itu kena masalah.

"Semalam kamu pergi ama Aika ke mana, Mar?" tanya Ratna.

"Hm, ke Dago," sahut Mario datar.

"Ngapain kamu ajak adik iparmu ke sana?" tanya Ratna lagi.

"Itu, liat proyek resto baru, dia juga cuma tidur sepanjang jalan, katanya capek. Sepertinya, kakinya sakit lagi."

Arbie menoleh ke arah abangnya, dia lalu meletakkan rotinya untuk mencari Aika. Wanita itu tengah duduk di kursi taman sambil menjemur kakinya. Aika memijit kakinya sendiri. Dia menggerakkan kakinya, agar sendi-sendinya tak kaku.

Arbie mendekat, dia menyodorkan sprayer pereda nyeri milik Aika. Wanitanya itu hanya menoleh tanpa berkata-kata. Dia mengambil sprayernya dan menyemprotkan ke kakinya.

"Apa kakimu sakit?" tanya Arbie memaksa Aika agar berbicara padanya.

"Sejak kapan kau peduli padaku."

Aika mengembalikan sprayer itu pada Arbie

"Aika, apa kakinya sakit?" Arbie bertanya sekali lagi. Namun, wanita cantik itu, tak acuh.

Aika berjalan ke arah kandang kelinci, di sana ada Edward yang sedang memberi makan kelinci. Arbie meninggalkan sprayer di atas kursi, dia pun pergi untuk bekerja di restorannya.

Dia teringat pembicaraannya dengan Aira beberapa waktu lalu. "Apa Aika merepotkanmu?"

"Tidak, dia tidak pernah membuatku repot. Justru, dia selalu membantuku bangkit," kata Arbie kala itu. Kini, hatinya ngilu mengingat ucapannya sendiri.

Hatinya juga ngilu saat mengingat kata-kata Aika tadi malam, "kau mempertahankan aku karena restoranmu?"

Tawa getirnya membuat hati ngilu dan tak bersemangat sedikit pun untuk bekerja.

"Langit hari ini cerah, kenapa mendung saja itu muka?" tanya Guntur pada rekannya itu.

"Ah, nggak papa, kok."

"Oh, Aika mana? Dia janji mau buatin aku celemek baru," tanya Guntur lagi.

"Dia sakit, kehujanan."

"Alah, Aika, padahal kemaren juga udah kesakitan banget itu tangannya kepotong pisau saat kaget dengar suaramu. Lain kali, kalau ngomong, bisa gak sih, gak usah bentak-bentak?"

"Hah?"

"Ah satu lagi, dia tanya kemaren pas ada reunian, kamu pergi ama siapa. Emang kamu gak pergi ama Aika?"

Arbie menunduk, dia menghela napasnya berat. Dadanya terasa sesak sekarang.

Pengantin Cadangan 2Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt