18. Rayuan Arbie

132 6 4
                                    

"Jadi selama ini kamu nggak pernah melakukan hubungan suami istri?" tanya Ratna berang.

"Arbie gak bisa, Ma."

"Kamu impoten!?" kejar Ratna lagi.

"Nggak, Ma, kami pernah sekali melakukan itu," sahut Arbie takut-takut.

"Sekali, doang??!" tanya Ratna dengan suara menggelegar.

"I-ii-ya, Ma."

Ratna memijit kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. Dia melirik ke arah Arbie yang menunduk di depannya. Meja makan digebraknya kuat, sampai piring dan gelas berjatuhan.

"Kamu ambil cuti! Pergi bulan madu ke Maldevs sekarang! Cari tiket sekaraaaaang!" teriak Ratna lagi.

"Gak usah repot-repot, Ma. Aika lagi haid, kok," sahut Aika yang baru kembali dari memanen mangga di sebelah rumah. Dia meminta asisten rumah tangga untuk menaruh mangga-mangga itu di atas wadah telur. "Dipotong ujungnya, terus taruhnya kebalik gitu, loh, Mbak biar keluar getahnya," katanya santai pada pembantu di rumah itu.

"Ya ampuun, mantu Mama kenapa jelek banget, kusem, jerawatan, mana sekarang agak item, di rumah cuma pake jumper. Astaga! Aika, kamu harus kembali merawat diri!" kata Ratna. Dia menghampiri menantunya itu sambil menangkup kedua pipi Aika.

"Percuma, Ma. Dia maunya Aika kayak gini, biar gak menarik. Kan dia yang gak mau! Gak nafsu katanya, Ma."

"Kapan, Mas bilang kayak gitu?" Arbie merapatkan gigi geliginya saat mengatakannya pada Aika. Dia geram dengan celotehan Aika yang langsung menghujam dadanya dan menelanjangi kelaki-lakiannya.

Aika berjalan mendekati suaminya. "Mas yakin mau diingetin?" bisiknya.

Laki-laki tinggi itu tiba-tiba saja, jakunnya naik turun mendengar ucapan Aika. "Nggak, nggak usah, Mas udah inget, kok! He-he-he."

Wanita berjerawat itu pun menepuk pundak laki-laki yang masih berstatus suaminya itu. "Sabar ya," bisiknya.
.
Aika ikut pergi ke restoran Arbie. Dalam perjalanan ke restoran, Arbie mencoba mengajaknya berbicara. "Pulsa udah Mas beliin, paket data udah, Mas isi. Netflix juga udah Mas bayarin. Kamu butuh apa lagi, Ka?"

"Ndaak ada," sahutnya datar.

"Ini kartu dari Papa, boleh dipake katanya." Arbie mengeluarkan kartu hitam pemberian ayahnya tadi pagi.

"Seriusan?" tanya Aika dengan mata berbinar. Dia mengantongi kartu itu dengan senyuman manis. Senyum yang sudah lama sekali tidak Arbie lihat sebulan ini.

"Kamu cantik kalau senyum, Ka," pujinya tulus.

Aika kembali berwajah datar, dia mengambil ponsel Arbie dan menelepon ayah mertuanya. "Halo, Bie?"

"Papaaaaaaa!!! Aika boleh pakai kartunya?" Nada bicara Aika dibuat mendayu dan manja, seakan sedang berbicara dengan ayahnya sendiri. Surya tak seseram penampilannya yang selalu necis dengan rambut berkuncirnya. Dia sangat sayang dan selalu menjadi pendengar yang baik untuk Aika.

"Iya, boleh, pakai aja!"

"Ada limitnya gak, Pa?"

"Kamu itu mantu Papa yang sangat berharga, pakai saja semaumu!" titah Surya.

"Asyiiiiik! Makasih, Papa!" teriknya.

"Oh, Aika, akhir-akhir ini kamu nggak cerita apa-apa kalau pagi. Kalau Arbie berulah, bilang ke Papa!"

"Siaaaaap!!" sahut Aika bersemangat.

"Semua wanita sama aja, ya, mata duitan!" keluh Arbie setengah bisik. Dia membuang muka dengan bibir yang dimajukan.

"Ya, kalau duitnya begini, pasti langsung ijo, lah!" sahut Aika lurus.

Walau dia kesal mendengarnya, tetapi hatinya berbunga menatap Aika kembali bersemangat. Dia bisa menikmati senyuman manis yang sudah lama sekali tidak kelihatan di wajah istrinya itu.

"Malam ini, kita tidur di Vila aja ya, Dek?"

"Punya black card gak boleh ke mana-mana, sama aja bohong!" sahut Aika ketus.

Arbie membuang muka, salah berbicara bisa membuatnya menjadi ketus level dewa. Dia harus mencari cara agar Aika kembali bawel seperti sedia kala.
.
Malam sudah gelap, seperti biasanya, jika ada Aika, restoran selalu ramai dengan pengunjung. Guntur izin pulang lebih cepat, begitu juga dengan kru dapur lainnya. Mereka semua sudah pulang, kecuali Aika dan Arbie.

Dia ingin bersama Aika lebih lama, mumpung mood istriya itu sedang baik. Hujan menahan mereka berdua di sana lebih lama. Dengan alasan atap kamar mandi bocor, Arbie pun berhasil membuat Aika menantinya.

Udara dingin membuat perut Aika mulai berbunyi. Dia lapar, entah sejak kapan Aika jarang merasa kenyang. Atau lebih tepatnya, merasa lapar.

"Ka, pagi tadi Guntur beli udang segar, mau sup pangsit gak?" tanya Arbie sambil menyerahkan cokelat panas untuknya.

Aika mengangguk setuju dia mengikuti Arbie ke dapur.

"Bentar, tunggu di sini ya, Mas bawa bahannya di sini aja."

"Butuh waktu berapa lama bikinnya?" tanya Aika santai. Dia menyeruput cokelatnya dan duduk di depan meja yang ditunjuk suaminya.

"Sejamlah kira-kira sampek mateng."

Arbie bergegas ke dapur untuk menyiapkan peralatan. Dia menyusun semua bahan di atas meja yang sudah dialpisi dengan plastik warp dan juga alas silikon.

"Mas, Aika boleh di kamar aja, nggak?" Dingin yang menusuk membuatnya kecut berada di restoran tanpa dinding itu.

"Mas mau nunjukin sesuatu, kalau kamunya di kamar sama aja bohong!" keluh Arbie. "Mas mulai ya?"

Aika hanya mengangguk. Dia melipat kakinya dan memeluk kakinya erat-erat. Laki-laki di depannya sedang mengolah tepung menjadi kulit dimsum. Dia tersenyum manis ke arah Aika, walau Aika biasa saja menatap ke arahnya. Adonan itu diputar di atas kepalanya sampai sobek dan jatuh di kepalanya.

Wanita cantik itu pun tak tahan lagi, dia pun tertawa melihat tingkah suaminya. Arbie berhasil membuatnya tersenyum, "dimsum memang tak pernah gagal membuat moodnya lebih baik," bisik Arbie pelan.

Aika berdiri, dia menjewer kuping suaminya. "Mas ini, mubazir jadinya! Udah sini, Aika bantuin biar cepet siap. Laper tau!"

Wajah laki-laki tinggi itu merah. Kupingnya juga merah, tapi ada yang lebih merah. Hatinya yang berbunga mendapatkan senyuman manis istrinya. Dia pun menarik Aika dan mengecup bibirnya sekali. Dia melepasnya, menatap ekspresi Aika yang memejamkan mata.

"Ka, abis ini, boleh ya, manja-manja lagi?" bisik Arbie pelan.

"Ya, kalau rasa dimsumnya enak, bolehlah!"

Arbie ingin memakan istrinya bulat-bulat, walau kesal, dia tetap memasak dimsum itu untuk istrinya. Dia bersungut-sungut di depan kompor sambil memasukkan satu demi satu adonan.

Aika sedang berusaha menghabiskan adonan yang Arbie buat. Dia juga ikut membantu agar semua lebih cepat. Dia kedinginan setengah mati, kakinya sudah hampir mati rasa. Sudah entah berapa kali dia mencoba menghangatkan tangannya yang beku. Namun, tiba-tiba saja, Arbie memeluknya dari belakang.

"Dingin ya, bilang aja kalau mau dipeluk gini," bisiknya lembut.

Aika diam saja, karena sebenarnya dia juga rindu. Dia rindu, Arbie yang bermanja di pangkuannya selepas pulang kerja.
Juga rindu, kecupan ringan di pipinya setiap akan berangkat bekerja. Walau tanpa adegan ranjang, jika dipikir-pikir, Arbie cukup romantis juga.

"Boleh kan, kita buat anak sekarang?"

Pengantin Cadangan 2Kde žijí příběhy. Začni objevovat