11. Garis Satu

101 7 7
                                    

Aika menelan semua omelan Ratna dengan lapang dada. Sejak pagi, sampai matahari terbenanm Ratna tak berhenti memarahinya. Semuanya salah di mata Ratna. Bahkan, gelas yang salah arah saja, bisa menjadi masalah besar untuknya. 

"Kamu ini, gak ada pekerjaan yang bener bisa kamu kerjain! Emangnya orang tua kamu nggak pernah ngajarin ya?" bentak Ratna. 

Aika mengangguk pelan, dia menyembunyikan ear bud di belakang jilbabnya. Wajah Aika dibuat serius mendengarkan semua keluhan wanita paruh baya berambut bob itu. 

"Kamu dengerin, saya nggak?" tanya Ratna muntab.

"Ma, ini minum dulu, biar Mama tenang," kata Aika sambil menyodorkan botol air mineral bertutup hijau emerald itu. 

Aika tak menggubris semua umpatan yang mendarat kepadanya, karena sejatinya, dia tidak mendengarkannya. Dia pergi dari ruang kerja Ratna dan berjalan menuju dapur.

"Ah, sayang banget, udah malem rupanya," gumamnya pelan. Dia mengeluarkan ear bud dari telinganya dan menyimpannya di saku. 

"Apa kau sudah makan Tuan Putri?" Suara itu membuat Aika menoleh dan mencari sumbernya. Dia melihat wanita cantik berjalan ke arahnya. Rambutnya sebahu, dia memakai dress hitam dan sepatu high heel berwarna hitam. Rambutnya tersisir rapi dan berkilau. 

Dia Aluna, asisten pribadi Mario. 

"Apa yang membawamu ke sini?" tanya Aika padanya. Wanita berambut pendek itu kini memiliki tinggi yang sejajar dengan Aika ketika memakai heels 10cm. 

"Hm... Bos memanggilku, oleh karenanya aku datang ke sini."

"Hm, masuk akal, sih." Aika membuang muka dan meninggalkan Aluna sendirian, dia bergegas ke dapur untuk membuatkan sesuatu untuk Arbie yang sebentar lagi pulang ke rumah.

Tangannya dengan cepat mengambil sedikit bahan makanan untuk makan suaminya seorang. Arbie tak suka makanan berat, dia lebih suka kudapan malam. Berbincang ringan sambil minum wine. 

Seporsi karage sudah terhidang di atas meja, dengan saus buatan Aika. Dia membersihkan seluruh dapur sebelum mengambil ponselnya untuk mengecek keberadaan sang suami.

Namun, baru saja dia selesai memasak, ponselnya berdering. Ada nama kekasihnya di layar ponsel lipat itu. Aika segera menyambarnya. "Ya sayang?" 

"Ka, maaf, Mas belum bisa oulang, ini masih di luar ada pertemuan. Maaf ya, baru ngabarin. Ini ada temen lama yang ngajakin ketemuan abis kerja."

"Oh, iya, Mas," sahutnya. Dia melirik pada karage buatannya yang baru saja matang. Asap dari masakannya, bahkan belum hilang. Dia menarik kursi dan memandangi karage buatannya sambil menopang dagu.

Aluna dan Mario baru saja keluar dari kamarnya, mereka berhenti sebentar. Mario membisikkan sesuatu pada Aluna. Dia pun berjalan mendekati Aika yang sedang melamun di meja makan.

"Apa restoranmu buka malam ini, Nona?" tanya Mario tenang.

"Hm?" Aika memperhatikan abang iparnya yang kini duduk di depannya dengan stelan cokelat dan rambut yang sangat rapi.

Mario mengambil sendok, dia menggeser makanan buatan Aika ke arahnya. Aika terbengong menatap wajah serius Mario yang tiba-tiba saja memakan makanan buatannya. 

"Enak banget, walau agak asin. Tapi, kalau dicampur dengan saus ini, jadi enak," pujinya. 

Aika hanya diam memperhatikan Mario. Edward dan Aluna tiba-tiba datang dan ikut bergabung. Mereka ikut mencicipi hidangan itu sampai tak bersisa. Edward bahkan ikut membantu merapikan dapur dan piring.

"Kenapa gitu?" tanya Aika keheranan dengan sikap Mario. "Bukannya malam ini, ada makan malam penting di luar?"

"Itu tidak penting, aku bisa makan malam lagi besok."

"Tapi, dandananmu menjadi sia-sia."

"Hm, tidak juga, aku bisa berdandan lagi besok." Mario menghabiskan potongan terakhirnya. Dia meraih tisu untuk membersihkan bibirnya. 

"Andai laki-laki itu semanis Abang. Pasti menyenangkan," kata Aika lagi.

Mereka berempat duduk di taman belakang rumah sambil menandangi bintang. Mario berbisik pada Aluna, "ambilin wine, Lun."

"Lu mau mabuk-mabukan sekarang? Gak boleh! Besok kita ada rapat pagi-pagi!" sahut Aluna ketus.

"Bukannya dia bosmu, kenapa begitu ngomongnya?" sahut Aika yang heran dengan perubahan sikap gadis berambut pendek itu.

Aluna menunjukkan layar ponselnya, "sudah lewat jam 9 malam. Aku boleh memakinya, jika tidak memulangkanku ke rumah." 

Aika tertawa mendengar jawaban ajaib Aluna. Wanita itu lantas berdiri dan meninggalkan ketiganya begitu saja. Langit malam yang cantik berubah muram, udara dingin mulai berembus pelan. Aika masuk ke kamarnya, dia ingin membersihkan dirinya sebelum suaminya pulang. 

Dia melangkahkan kakinya dengan malas ke kamar. Pasalnya, kamar itu sangat dingin tanpa kehadiran Arbie di sana. 

Aika menyentuh dinding di lorong panjang sebelum sampai ke kamarnya yang ada di ujung lorong. Bayangan dirinya dan Arbie yang bermain kejar-kejaran ada di depan matanya. Dia tersenyum kecil, "betapa duniaku sepi tanpa dirinya. Yang kadang dingin, kadang hangat, kadang ketus, kadang lembut melebihi eskrim vanila." Aika mendesah pelan. Dibukanya pintu kamarnya. Kosong.

Dia segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan. 

Pintu kamar itu terbuka, Arbie akhirnya pulang juga. Laki-laki itu membuka jaketnya dia menemukan Aika sudah terlelap dengan linggery indahnya. Namun, hal itu tak menggetarkan hatinya. Dia pun bergegas mandi lalu tidur, seperti tidak terjadi apa-apa. 

Aika yang menyadari sang suami pulang, dia berguling untuk masuk ke dalam pelukan suaminya. Seharian bekerja dan diomeli ibu mertuanya, membuatnya kesal. Sebentar saja menempel apda sang suami, akan membuatnya lebih baik. 

"Aku capek, Dek."

"Aika juga, tapi Aika mau peluk, Masnya. Sebentar aja, biar ilang rasa capekku ini, Mas. Boleh ya?" rengeknya

"Mas capek, Ka."

Aika hanya memandangi suaminya yang mulai terlelap, dia tak peduli, apakah Arbie akan marah atau tidak. Dia masuk ke pelukan suaminya secara paksa. Arbie yang sudah kelelahan pasrah, karena istrinya itu memang tidak bisa tidur tanpanya. 

"Jangan cium-cium, plis, Mas beneran capek," rengeknya. Namun, Aika tak mendengarkannya. 

"Mas harus dihukum, udah pulangnya lama, nggak cerita pergi ke mana ama siapa, sekarang merengek gak pengen sentuh Aika? Gimana mau garis dua tespeknya kalau istri juga dianggurin?" protesnya. 

"Iyaaa, iyaaa, maaf sayang, lepas dulu. Mas tidur dulu ya? Serius ini, capek banget."

"Andai kau tahu apa saja sindiran ibumu padaku. Apa yang dilakukan ibumu padaku, apa kau masih bisa tidur dengan tenang?" Kalimat itu menyangkut di tenggorokannya tanpa bisa dikeluarkan dengan kejam. 

Dia melepaskan pelukan Arbie lalu berjalan ke lemari untuk mengambil pakaiannya.

"Kenapa, kok, malah ganti baju?"

"Hm, gak papa, terlalu dingin pakai baju ini. Apalagi suamiku malah gak selera lihatnya. Mungkin, besok-besok aku pakai."

Arbie menarik tangan Aika dan membawanya kembali ke tempat tidur. Dia tahu keresahan istrinya itu. 

"Mama bilang apa hari ini?" bisiknya lembut.

"Aika nggak mau cerita, Mas juga gak mau cerita kan?" 


Pengantin Cadangan 2Where stories live. Discover now