26. Bangkrut

93 6 5
                                    

"Jadi, restoranmu sekarang bangkrut?" Surya menaikkan alisnya, dia menurunkan kacamata kotak berbingkai kecil dari wajahnya.

Arbie tak bisa menjawabnya, dia tertunduk lesu.

"Kaaaaau tahu apa konsekuensinya kalau kamu bangkrut?" tanya Surya lagi. Kali ini, dia melirik ke arah Aika.

"Tidak, Pa, kami hanya rehat sebentar, sebelum memulai kembali dengan ide baru. Belakangan ini, Aika sedang mencari tahu tren apa yang sedang booming di masyarakat. Jadi, mungkin minggu depan bisa langsung direalisasikan," sahut Aika. Dia menggenggam tangan suaminya erat.

"Papa tanya ama Arbie, bukan sama kamu. Kamu jawab, Bi?" tanya Surya lagi.

"Seseorang menyebarkan rumor tentang kami, video anonim tentang Aika dan semua banner yang menghilang, jelas-jelas kami disabotase, Pa. Apa sebenarnya yang sedang Papa rencanakan?" tanya Arbie pada ayahnya.

Surya berdiri, dia berjalan ke arah jendela besar yang ada di belakangnya. Mereka bertiga dipanggil ke ruang kerja Surya untuk melaporkan perkembangan restorannya.

"Jadi, kau tidak bisa keluar dari masalah ini?" Surya berkacak pinggang. Langit yang ditatapnya kini terlihat kelam dengan kilat yang terlihat berpijar di antaranya.

Kelamnya awan yang hampir sama pun menyelimuti hati Arbie. Dia takut kehilangan restorannya dan juga harga dirinya di depan ayahnya. Bantuan seperti apa yang akan diberikan Surya saat ini, apakah sama seperti bantuan beberapa tahun lalu, saat dia sedang bekerja di hotel bintang lima itu.

Arbie mulai bertanya-tanya.

Enam tahun lalu, dia magang di sebuah hotel. Dia sana dia bermimpi, menjadi chef kepala. Dia bekerja keras siang dan malam untuk berlatih. Matanya selalu awas memperhatikan chef kepala. Saat masih menjadi chef helper pun, dia sering menyembunyikan sebuah catatan untuk mencatat semua bahan yang digunakan. Selepas bekerja, dia pun pulang dan mencobanya di rumah.

Namun, Ratna memarahinya saat memegang panci dan semua peralatannya. Arbie tak punya pilihan, dia pun mencobanya di dapur hotel, saat semua orang sudah pulang.

Saat itu, koki kepala melihat aksinya beberapa kali, dia pun mempercayakan Arbie untuk ikut memasak saat salah satu koki di sana yang bernama Frans tak bisa ikut memasak karena terluka.

Masakannya dipuji, dia diberi kesempatan untuk terus berkembang dan diterima dengan baik oleh koki kepala. Namun, Frans menemukan hal yang tidak dipercayanya. Selama ini, rupanya koki kepala di sana adalah teman dekat Surya.

Kecemburuan itu membakar cepat, Arbie pun dikeluarkan dengan terpaksa. Dia pun memilih membuka kios kecil di dekat kampus, tetapi itu pun tidak berjalan lancar. Sampai akhirnya dia menjual salah satu mobilnya dan membangun restorannya dari nol.

Restoran itu sudah berjalan selama dua tahun dan baru sekali ini tidak memiliki tamu selama beberapa minggu.

"Ya sudah, berhenti saja dan buka di tempat baru."

Arbie mendongakkan kepalanya. "Maksud Papa gimana?" tanyanya mulai gusar.

"Atau kamu bisa membantu Mario di agensinya.  Atau bekerja di tempat Papa."

"Bukannya Papa meminta Arbie buat keluar dari masalah ini sendiri, kenapa Papa meminta Arbie pindah?"

"Aika, apa kau tak masalah jika harus berpisah dari suamimu?" tanya Surya.

"Tapi, Pa? Apa Aika juga tidak boleh membantu Mas Arbie untuk bangkit kembali. Bukannya kami harus terus bersama di saat-saat seperti ini?" tanya Aika menahan tangisnya.

"Kau tak perlu terus-menerus membantunya, dia pasti bisa keluar dari masalah ini. Toh, selama ini, kalian tidak terlalu akur kan? Ini kesempatan untukmu berpikir lagi pada pernikahan ini, Aika."

Aika diam, dia menatap wajah suaminya yang menggelengkan kepalanya.

"Pulanglah ke rumahmu, biarkan dia menyelesaikan ini. Kalau kau terus terlibat, anakmu juga yang akan tersakiti suatu saat kelak."

...
Hari-hari terasa semakin sesak untuk Arbie, dia tidak diizinkan bertemu Aika yang diminta tinggal di rumah besar orang tuanya. Setiap pagi, Aika kembali menjadi pembuat sarapan pagi untuk semua orang yang ada di rumah bersama Aluna.

Aika selalu berusaha menghubungi suaminya kapanpun dia bisa. Seperti saat jam makan. Malam-malamnya pun sama-sama terasa sesak sampai membuatnya tak bisa terlelap.  Jika sudah begitu, dia pun keluar untuk menghirup udara malam.

Edward sedang bejaga malam ini, dia melihat Aika diam sendirian di dekat kandang kelinci. Dia mendekatinya dengan membawa selembar selimut.

"Kenapa ke sini? Kau mau menangis?" tanya Edward dingin. Dia menyerahkan selimut yang dibawanya pada Aika.

"Kau biasanya tidur di kandang kelinci, Ed?" tanya Aika sinis. Dia jengkel dengan perkataan teman lamanya itu.

"Sudah lama aku tak mendengar kamu mengoceh seperti anak kecil, Ka. Apa sekarang kau sudah dewasa?"

Selimut yang ada di tangan Aika pun dia rebut kembali dan dia pakaikan pada wanita di depannya itu.

"Kita sudah selesai dengan semua itu kan?" tanya Aika pelan.

Edward tidak membalasnya.

Seseorang datang, dia melihat Aika bersama Edward sedang berduaan di halaman belakang. Dia pun datang dan menarik Edward sampai laki-laki itu terhuyung dan hampir terjatuh.

"Bajingan kau!' pekiknya.

"Aku bisa jelasin, Bos!"

Terlambat, sebuah tinju mendarat di wajahnya dan membuatnya pun jatuh.

Aika membuang selimutnya, dia memeluk Arbie yang sedang terbakar emosi.

"Aku kesusahan sendirian untuk menyelamatkan hidupku, kau malah bermesraan dengan ajudan? Kau gila Aika? Apa dia juga yang menjadi alasanmu untuk meminta berpisah dariku?"

"Hah? Apa kau mabuk, Mas? Ini tidak seperti yang kau pikirkan."

"Apa? Apa yang tidak seperti yang aku pikirkan? Malam itu pun sama, saat aku menolakmu, menghinakanmu, kau malah pergi ke arahnya. Aku ragu Aika... bayi siapa yang ada di perutmu itu?"

Bagai suara guntur yang menggelegar menyambar-nyambar. Hati Aika remuk mendengarnya. Dia tetap berusaha berdiri tegak. Arbie menghempaskan tangan istrinya yang sedari tadi memeganginya. Aika memeluk suaminya erat, tetapi laki-laki di depannya malah melepaskan pelukan itu.

"Aku akan biarkan restoran itu, aku akan menuruti perkataan Papa untuk melepaskannya. Apa kau puas, bisa lepas dariku seperti harapanmu?" Suara Arbie bergetar.

"Kau hanya sedang bingung sekarang, aku akan bantu kamu bangkit seperti kemarin, dan kemarinnya. Jangan gini, Mas?"

"Hah? Dan kau akan berlari padanya saat kau rapuh? Apa benar begitu?"

"Lantas kau anggap apa aku selama ini, Mas?"

"Arbie, jangan gini, kita akan selesaikan masalah ini. Aku akan bantu kamu keluar dari masalahmu. Kami sudah mendapatkan data tentang siapa yang melakukan kekacauan ini. Plis, Arbie!" Edward mencoba menahan Arbie yang berjalan keluar rumah.

"Aku tak butuh bantuanmu, Ba***."

Laki-laki itu pun pergi sendirian ke restorannya tanpa menoleh sedikit pun. Aika berjalan pelan menuju kamarnya, dia pun harus mengemasi barang-barangnya, sebelum Ratna tahu dan mengusirnya seperti kucing.

Pengantin Cadangan 2Where stories live. Discover now