9. Angkasa

123 6 15
                                    

"Jika nanti kita punya anak, mau dikasih nama siapa, Mas?"

"Angkasa, agar dia punya hati seluas langit seperti ibunya," sahut Arbie pelan. 

Dia menatap wajah Aika yang mulai terlelap di sampingnya. Seharian ini, mereka hanya duduk-duduk di rumah orang tua Aika. Kondisi rumah mereka memang jauh dari kata mewah. Bahkan semua pekerjaan rumah dikerjakan sendiri oleh Aira dan ibunya. Ajaibnya, Ahmad dan Ari juga ikut membantu mengurus rumah. 

Hal ini, tentu saja berbeda dengan rumahnya yang semua serba dikerjakan pembantu. Arbie beranjak dari tempatnya, dia turun dan melihat Aira sedang duduk di depan televisi sambil menimang bayinya. 

Dia bimbang, ingin mendekat, tetapi Aira yang menyadari kehadirannya malah memanggilnya agar mendekat. Arbie mendekat, dia melihat di pangkuan wanita cantik itu ada Ryu yang sudah terlelap. 

"Bie, tolongin, dong, gendongin, ini tangan dan kakiku keram."

Arbie tak bisa menolak, dia mengangkat Chantika dan membawanya ke kamar. Pelan-pelan, ditaruhnya bayi mungil itu di tempat tidur. 

"Cantik sekali," gumam Arbie.

Dia diam sebentar sambil memperhatikan Chantika. "Pantas saja, Aika juga menginginkan makhluk secantik ini."

Arbie berdiri, dia kembali ke ruang tengah. Aira masih duduk di sana, dia tak bisa bergerak karena suaminya yang baru saja terlelap ada di pangkuannya. 

"Kau tak haus, Ra?" tanya Arbie perhatian.

Aira mengedipkan matanya, lalu mengangguk kuat, Arbie tersenyum geli melihat tatapannya. Sudah lama sekali dia tidak melihat Aira seperti itu. Dia menyerahkan gelas yang ada di tangannya. 

"Aika mana?" tanya Aira pelan, dia tidak ingin membangunkan Ryu. L

"Ada di kamar, baru aja tidur."

Aira mendesah, "bayi besar ya dia, sedikit manja dan merepotkan," keluhnya.

"Hm, bener, ntah kapan bisa dewasa, dan jujur ama dirinya sendiri," sahut Arbie sambil mendesah. Dia berdiri, berjalan menuju teras untuk mencari udara segar. Aira mengikutinya, "kau mau jalan-jalan sebentar keluar, Bie?" tanya Aira penuh semangat. 

"Boleh, ayuk."

Udara malam yang hangat, alunan musik pelan berbunyi dari pelantang nirkabel di rumah tetangga, menggeser bunyi jangkrik dan kodok yang biasa meramaikan malam. Aira tertawa mendengar suara musik dangdut koplo itu di sela-sela malam. Pasalnya, warga kampung tak biasanya menghidupkan musik setelah magrib tiba. Mereka pergi untuk mengaji di salah satu rumah warga selepas magrib atau menonton pertandingan bola secara berjamaah di salah satu warung yang menggelar nobar.

Arbie menatap wajah Aira yang tersenyum manis malam ini. "Sudah lama sekali kita tidak jalan berdua gini, ya, Bie?" 

"Huum, bener, sejak kau kabur, kita gak pernah ngobrol gini."

"Maaf ya, Bie. Rupanya, takdir tidak berpihak ke kita ya, Bie."

Arbie menghela napasnya kasar. "Setidaknya, kita masih bisa menjadi teman seperti ini."

"Apa kau mencintai Aika seperti mencintai aku?" tanya Aira serius. Dia meraih jemari Arbie yang dingin, "aku berharap kalian bisa akur."

"Tenanglah," kata Arbie sambil melepaskan tangan Aira. "Biasanya, di depan ada jual jagung rebus, kita beli itu aja ya?" 

Aira mengganguk setuju, dia mengikuti langkah Arbie yang mulai jauh. Laki-laki itu tidak banyak bicara, tidak suka mengeluh dan sabarnya mencapai langit.

Dia sudah memaafkan Aira dengan cepat, juga abangnya yang sudah menghancurkan impiannya. Dan sekarang pun, dia masih belum tahu, apakah benar perasaannya pada Aika adalah cinta atau hanya hubungan terpaksa?

Mereka pulang, setelah puas berjalan-jalan di tengah malam yang dingin. Pipi Arbie sudah mulai beku karena dinginnya malam. Aira pun sama, dia tak berani mengeluarkan tangannya dari saku jaketnya. Tangannya bisa merah dan sakit jika terkena udara dingin.

Arbie membuka pintu rumah, sambil tertawa. Sepanjang jalan menuju rumah, Aira bercerita banyak hal-hal lucu masala lalu yang membuat mereka makin dekat. 

"Kau ingat waktu aku jatuh ke got saat mau. Kasih kamu bekel, Bie?" tanya Aira dengan nada jenaka.

"Ah, iya aku ingat, sepatumu hilang di dalam got, dan Danis yang mengambilnya. Kakimu penuh lumpur sampai semua orang berlari menghindarimu, Ra."

"Hahaha, bener, aku malu banget waktu itu."

Derai tawa mereka terdengar sampai di dalam rumah. Ryu mendengarnya, dia masuk ke dalam selimut dan pura-pura tidur. 

Aika dari kamarnya juga sama, dia menarik selimut dan pura-pura tidak mendengarnya. Walau begitu, dia tidak kuat menahan air mata yang meleleh di pipinya. 

Arbie masuk ke kamar dan melepas jaketnya lalu membuangnya sembarangan. Dia langsung loncat ke atas tempat tidur dan memeluk Aika dari belakang.

"Dedek, banguuun, Mas bawain sesuatu ini." Dia menempelkan pipinya ke pipi Aika. Istrinya itu langsung bangun dan berusaha melepaskan diri. Namun, dekapan Arbie sangat kuat..

"Tangan Mas, dingin banget, dari mana?" tanya Aika sekedarnya, karena dia tahu, suaminya pergi ke mana.

"Iya, tadi muter bentar keluar, nggak bisa tidur juga soalenya. Ada jagung manis ini, mauu gak?" bisiknya lembut. 

"Mas kecapean ya? Kok, gak bangunin, biar Aika pijitin, maaf ya, bikin Mas gini."

Arbie memeluk Aika lebih erat, "jangan minta maaf mulu, sini bangun, ayo kita makan bentar."

Aika malas sekali beranjak dari tempatnya, dia dibopong Arbie ke lantai satu. Dia pasrah saja, menemani suaminya yang tidak bisa tidur itu di dapur membuatkan makanan untuknya.

"Gak capek apa, masak terus?" tanya Aika dari mini bar. Dia menopang pipinya yang mulai dingin. Pandangan mata Aika tertuju pada jam dinding yang menunjukkan pukul 1 dini hari. Aika turun dari kursinya, dia berjalan tertatih menuju Arbie dan memeluknya dari belakang. "Sini, biar Dedek bikinin buat, Mas. Duduk, gih!" titahnya lembut.

"Ng... Asiiiik!" 

Arbie pun menyerahkan spatula plastik yang ada di tangannya kepada istrinya itu. Dia berjalan menuju sofa dan menghidupkan televisi, untuk memilih film yang akan ditonton berdua dengan istrinya. 

Namun, baru saja film itu diputar, kantuk menguasainya, Arbie terlelap di sofa. Aika masih sibuk memasak di dapur. Dia membuatkan ramen untuk suaminya. Hanya tinggal memasukkan telur dan keju, serta potongan nori di dalam mangkuk. Arbie menyukai rasa mie yang krimi dan asin. 

Aika meletakkan mangkuk berisi mie itu di depan Arbie yang tengah terlelap. Asap dari mangkuk itu menguar, mengusik dinding perut Aika. Dia baru ingat, belum ada makanan yang masuk dan benar-benar mengenyangkannya hari ini. 

"Mas, katanya mau makan?" panggil Aika pelan. Dia menepuk pundak suaminya itu pelan. 

"Hm?" Dalam hitungan detik, laki-laki itu terbangun, "apa sayang? Udah mateng ya?"

"Hampir dingin, ayo dimakan."

"Makan bareng kamu, boleh ya? Belum makan dari tadi kan?" 

Aika tersenyum kecil, dia segera duduk di samping suaminya itu dan menyuapkan mi ramen ke mulutnya sendiri.

"Mas mau jugak!" protes Arbie manja.

"Idih, tidur aja lagi!" 

"Aaaaa, Aiiika gitu!" ucapnya sambil manyun. 

"Berisik! Aika cium, Mas nanti!" ancamnya.






Pengantin Cadangan 2Where stories live. Discover now