³K : Ketemu Perduabelasan

75 14 1
                                    

Semoga harimu senin terus😍

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.

Semoga harimu senin terus😍




***


Banyak orang bilang bahwa menghalu itu adalah salah satu healing yang paling simple. Dan ya, aku membenarkan hal itu. Namun, harus tetap dalam konteks tidak boleh berharap. Sejatinya 'menghalu' dan 'mengharap' adalah kata yang maknanya berbeda.

Kini aku tengah rebahan santai sambil mengetikkan sesuatu pada layar ponselku. Sesekali melirik ke arah pintu kamar yang terbuka lebar. Dan benar saja seperti dugaanku, adik semata wayangku itu muncul dari balik tembok. Lengkap dengan baju bola kebanggaannya.

"Mau apa?" tanyaku seraya mengubah posisi menjadi duduk. Kini tepat menghadap Juan yang menyengir.

"Anterin ke lapangan ayo! Aku mau main sama gengku."

"Dih, sama Iksa aja sana. Dia gengmu kan," tolakku membuat Juan di depanku cemberut.

"Ayolaaah, ada Bang Hanan juga loh!" Aku melebarkan mata, lantas melompat dari kasur.

Ini kesempatan bagus untuk pamer rambut baruku! Yah, waktu itu dia mengejekku karena tidak pernah mengecat rambut. Dan lihat saja sekarang, aku sudah mengecat rambut menjadi warna navy. Bukan apa-apa, tapi aku ingin lihat reaksinya. Akankah dia terkejut dengan rambutku? Wohoho!

"Ayo!" Aku berjalan lebih dulu, meninggalkan Juan yang tetap mengekoriku.

"Semangat banget kalo ketemu bang Hanan," cibir Juan setelah motor keluar dari pekarangan rumah.

"Eits, jangan salah! Aku ini satu frekuensi sama bang Hanan, sama-sama suka musik hip hop. Makanya kalau mau gratisan di warnetnya ya harus deketlah!" balas Yaya dengan menggebu.

Aku tidak peduli dengan Juan yang mencibir di belakang. Aku terus bersenandung riang mengendarai motorku.

***

Aku tak kembali ke rumah usai mengantar Juan. Aku memilih pergi ke Taman Selagalas, mumpung sore ini diriku tak ada kegiatan berarti. Melanjutkan tulisan pun, rasanya bingung. Karena itu aku perlu menjernihkan pikiran sejenak.

Perihal bertemu dengan Hanan tadi, itu hanya keinginan sekilas. Setelah melihat 11 cowok yang merupakan teman Juan itu berkumpul, entah mengapa rasa minder hinggap pada diriku. Membuat aku tak jadi bersapa ria dengan bang Hanan, Alfian dan Iksa yang memang sudah akrab denganku.

"Eh, tadi ada cowoknya Lia 'kan? Aku kira dia gak bisa main bola," monologku seraya terus berjalan menyusuri sekitaran danau taman.

Aku berhenti di depan berugak kosong di tengah danau. Melirik sekilas ke bawah berugak yang penuh dengan tumbuhan air. Lantas naik ke berugak setelah memeriksa bangunan berugak tersebut aman. Kan tidak lucu jika berugak tiba-tiba ambruk dan aku menyebur ke danau di bawahnya.

Aku menggeleng cepat, mengusir jauh-jauh pikiran absurd-ku. Memilih membuka plastik yang berisi gorengan yang sempat kubeli tadi.

Aku sibuk mengunyah seraya bersandar pada pagar pembatas. Seolah tidak ada beban dalam hidupku. Apalagi merasakan angin menggerakkan anak rambutku yang mencuat, ah rasanya seperti tengah bermimpi indah. Nyaman dan damai.

"Berasa gak punya beban, tapi aslinya tugasku padahal numpuk," gumamku kembali menggigit gorengan tahu isi.

Aku kembali melamun, memikirkan alur cerita yang sempat tertunda dalam kepalaku. Sambil terus mengunyah, pikiranku berkelana jauh entah ke mana. Memikirkan berbagai peristiwa yang pernah aku alami. Membawanya masuk dalam cerita yang akan aku garap. Sebelum akhirnya sebuah suara membuyarkan lamunan tenangku.

Aku berdecak, jelas merasa terganggu. Mau tak mau aku meraih ponsel di dalam tas selempang. Kemudian dengan malas, aku mengangkat telepon tersebut.

"Apa sih, Yan? Kayak ada perlu aja, mending lanjut aja main bolanya." Aku tidak berbasa-basi, langsung menyambut orang di seberang dengan gerutuan.

Suara di seberang tertawa pelan, membuat tubuhku menegak. Lantas memastikan siapa si penelepon.

"Ini siapa?" tanyaku saat yakin bahwa penelepon di seberang memang Alfian. Namun, anehnya ada suara lain yang tadi terdengar.

"Ini Hanan, kami udah mau pulang. Cuma ya Juan gak ada temen, udah disuruh jalan aja tapi gak mau anaknya."

Oh iya, aku lupa jika Alfian dan Juan memang sedang bersama gengnya. Aku berharap bang Hanan tidak menyalakan loudspeaker-nya. Jika tidak, wah, tidak tau harus ditaruh di mana mukaku.

"Saya ke sana sekarang, Bang. Tungguin, jan pulang dulu! Kasihan kan kalo anaknya nangis."

Pria di seberang kembali tertawa, membuat aku meringis dan menutup sambungan sepihak. "Bisa-bisanya nih anak manja banget, gak tau apa aku lagi healing," sungutku sembari beranjak turun dari berugak. Tak lupa membawa bungkus gorengan yang tersisa dua biji tahu isi.

***

"Woi, Juan! Pulang!" teriakku dari sisi jalanan dekat lapangan. Membuat 12 laki-laki yang sedang duduk-duduk itu menoleh ke arahku.

Aku meringis pelan, menyesal sudah berteriak di antara geng cowok itu.

Namun, atensiku teralihkan melihat Juan berdiri. Berpamitan pada semua laki-laki di sana, sebelum akhirnya mendekat ke sisi motorku.

"Lama banget, Kak, ke mana aja?"

"Healing!" jawabku ngengas.

"Katanya kalian pulang, kenapa mereka masih nongkrong?" tanyaku merasa dibohongi.

"Iya, kata bang Hanan mau nungguin Kakak."

Aku mendecih. Sudah hafal dengan tingkah Hanan yang memang 11-12 dengan Alfian. Membuatku jadi curiga, jangan-jangan grup mereka ini adalah sekte perbuayaan.

Namun, seperkian detik aku menggeleng cepat. Mengusir jauh-jauh prakiraan itu, mengingat ada adikku yang masuk ke dalam grup tersebut.

"Heh, kamu gak diajarin sesat kan sama mereka?" tanyaku saat memasuki gang rumah.

"Sesat gimana? Kami cuma main bola, tapi kadang juga nongkrong di warnetnya bang Hanan."

Aku turun dari motor saat Juan hendak masuk ke dalam rumah. Aku memanggil Juan, membuat pemuda bongsor itu terlihat terpaksa mengikutiku untuk duduk di teras.

"Udah sore Kak, aku mau mandi."

Aku tidak mengatakan apapun, tapi tanganku menaruh bungkus gorengan itu di tengah-tengah kami. Juan akhirnya duduk diam sambil memakan gorengan yang berjumlah dua biji itu.

"Kapan ke warnetnya bang Hanan?" Aku menampilkan wajah antusias, membuat Juan terbatuk.

"Kenapa nanyain itu?"

"Ya pengen aja nanti kalo kamu ke sana, aku ikut. Lumayan kan bisa gratisan hehe." Juan menggeleng heran, tapi aku tak peduli. "Eh, tapi bang Hanan punya pacar gak ya?"

Juan menelan kunyahannya, balas menatapku. "Kayaknya sih ada. Beberapa kali aku lihat bang Hanan bawa cewek soalnya pas mau kumpul."

"Kenapa senyum gitu?" tanya Juan otomatis menghentikan senyum lebarku.

"Senenglah! Aku jadi ada temen cewek nanti kalo ke warnet bang Hanan," ucapku kembali menampilkan deretan gigi putihku.

"Gila."

Juan bangkit dari duduknya. Meninggalkan aku yang masih tersenyum lebar. Aku tidak marah, karena pembicaraan tadi akhirnya aku mendapat ide mengenai kelanjutan tulisanku. Aku lantas menyusul Juan masuk. Setelahnya duduk di depan laptop, kembali melanjutkan kegiatan menulis yang sempat mengalami writer's block.

***


Not Kovalent Bond✔Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz