⁸O : OMG, Jangan Baper!

57 12 0
                                    

Hidup lagi capek-capeknya, tapi ketemu Lalu

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Hidup lagi capek-capeknya, tapi ketemu Lalu



***


Aku menguap lagi. Entah sudah berapa kali aku menguap, tak terhitung. Kini kualihkan pandanganku pada cowok sipit yang kemarin merusak waktu luangku. Dia sibuk mengikat tali sepatunya. Tak selesai-selesai. Sudah lebih lima kali ia membuka simpulnya, memperbaikinya lagi, lantas membukanya. Hal itu membuatku bosan. Siapa lagi yang bisa bertingkah seperti itu kalau bukan Lalu Jandi Anugerah.

"Heh, sekali lagi kamu buka, dapet kulkas dua pintu!" kesalku sambil menunjuk ke arah sepatunya.

Lalu terkekeh, "Iya maaf, Ya, ini terakhir deh."

"Btw kita mau ke mana? Soalnya saya kemarin ngajak Dian juga," kataku teringat untuk menjemput Dian karena menunggu manusia di depanku ini.

"Yah, padahal ngarepnya kita jalan berdua, Ya," ucapnya dengan wajah melas dibuat-buat.

Aku mendelik, tidak menanggapinya lebih jauh. "Ayo, udah? Kasihan Dian nunggu."

Lalu mengangguk, bangkit dari posisinya. Lantas menutup pintu kosnya. "Ayo!"

Kami berjalan beriringan menuju parkiran kos. Aku merasa sedikit canggung karena berada di wilayah kos khusus putra begini. Namun, sebisa mungkin menunjukkan raut wajah biasa saja.

"Kita ke Loang Balok aja, Ya," seru Lalu sambil memasang helm full face-nya.

Aku mengangguk, mengiyakan. Tidak masalah selama masih dekat.

Setelah kami sama-sama berada di atas motor masing-masing, segera kami meninggalkan area kos khusus putra tersebut. Mulai membelah jalanan kos yang cukup terjal.

***



"Kita ke mana, Ya?" tanya Dian di belakangku.

Kini kami tengah menunggu lampu lalu lintas itu berubah hijau. Aku tak langsung menjawab, sedikit melirik Lalu yang tepat berada di samping.

"Gak tau, aku juga diajak sama Jandi," jawabku seadanya.

Lampu berubah hijau, aku kembali melajukan motor. Lalu sudah lebih dulu, maklum jenis motor kami berbeda. Ditambah suara berisik dari knalpot-nya cukup membuat diriku menolak untuk dibonceng dia.

Aku melihat motor Lalu berhenti di monumen 0 kilometer. Membuat aku menepi dan ikut memarkirkan motor. Dian pun turun, ikut mendekat ke arah Lalu.

"Gimana?"

"Jadi ke Loang Baloq?" Aku mengangguk, sesuai kesepakatan tadi.

"Memang kita mau ke mana?" Dian ikut menyahut.

"Kita ke pantai, Di. Mau?"

Aku bisa melihat perubahan ekspresi Dian. Kini terlihat antusias dengan mata berbinar. Seolah ada bintang-bintang berwarna kuning di sekitar matanya.

Not Kovalent Bond✔Onde histórias criam vida. Descubra agora