2

172 37 1
                                    

Perjalanan untuk sampai ke istana harus melewati hutan. Prajurit yang dikerahkan tidak sedikit. Bahkan kaisar mengirim panglimanya juga. Jika bukan karena sebuah tradisi, mungkin kaisar sendiri yang akan menjemputku. Tapi tradisi tidak membiarkannya datang.

Itulah makanya kaisar mengirim orang yang paling dipercayainya untuk membawaku ke istana.

Soal yang terjadi kemarin, aku sungguh masih memikirkannya. Siapa kira-kira yang melihatku? Apa akan terjadi sesuatu dalam perjalananku?

Aku ingin mengatakannya pada Jenny. Tapi kalau aku mengatakannya, akan lebih banyak kehebohan dari pada yang sudah aku saksikan hari ini.

"Apa anda baik-baik saja, Nona?"

Aku mendongak menatap Jenny. "Ya. Sangat baik. Aku akan ke istana. Apa yang membuat aku tidak baik?"

"Kaisar akan memperlakukan anda dengan baik. Jangan khawatir."

Aku tidak mengkhawatirkannya. Mereka tidak tahu yang aku inginkan. Mereka tidak tahu yang aku mau. Aku bukannya mau diperlakukan dengan baik oleh seseorang. Aku hanya ingin bebas. Aku ingin melakukan apa yang ingin aku lakukan. Menjalankan hidup sesuai kehendakku dan tidak pernah takut pada mereka yang menatapku.

Aku sungguh menginginkan kebebasan. Aku tidak butuh suami atau orangtua yang hanya bisa mengekang. Yang aku mau adalah rumah biasa dengan seseorang yang biasa.

Tapi aku tidak akan pernah mendapatkan hal tersebut. Setelah masuk ke istana, hanya kematian yang bisa membawaku keluar dari tempat tersebut. Dan aku tidak pernah merasa cocok di tempat seperti istana.

Sentuhan di bahuku membawa aku kembali dari lamunan. Aku menatap ke belakang dan ibuku di sana dengan wajah sedihnya.

"Anakku ...."

Aku berdiri dan memeluk ibu. Aku menepuk punggungnya dengan lembut. "Tidak apa-apa, Ibu. Aku akan baik-baik saja."

"Terus kirim surat ke rumah. Ibu mau kau tetap mengabarkan kondisimu di sana."

Aku mengangguk mengerti. Aku memang merencanakannya. Bagaimana pun keluargaku, aku mencintai mereka dan akan melakukan apa pun untuk mereka. Karena mereka pun melakukan semuanya demi aku. Hanya untuk kebaikan dan keselamatanku.

"Dia akan baik-baik saja, istriku. Jangan menangis seolah dia akan meninggalkan kita ke antah berantah."

Pelukanku dan ibu terlerai. Aku menatap ayah yang saat ini berada di ambang pintu. Jenny sendiri sudah berdiri di sudut menjadi pendengar tanpa suara. Ayah dan ibu memperlakukan Jenny seperti pelayan karena Jenny memang pelayan. Tapi aku maunya Jenny tidak diperlkaukan demikian. Hanya saja, seperti biasa, aku tidak memiliki pendapat di dalam apa pun yang sudah diputuskan ayah.

"Jaga baik-baik nama keluarga, Odette. Ingat, apa pun hal buruk yang kau lakukan di istana, akan berdampak pada kepala ayah dan ibumu yang akan terluka. Kau mengerti?"

"Mengeerti, Ayah."

"Dan ambil ini." Ayah memberikan botol kecil padaku.

"Apa ini, Ayah?" Aku mengambil botol itu dengan bingung.

Ibu juga sama bingungnya denganku. Tampaknya ibu tidak tahu keberadaan botol itu.

"Racun."

Aku dan ibu saling menatap. Ibu meraih lengan ayah dengan linglung. Dia menekan tangannya pada lengan itu.

"Apa yang kau lakukan, Suamiku? Kenapa memberikan putri kita racun? Apa kau mau dia membunuh dirinya sendiri?" Ibu menatap Jenny. Memastikan Jenny tidak mendengar kami.

Tapi aku ragu Jenny tidak mendengar. Dia pasti mendengar meski wajahnya masih tampak tidak tahu apa-apa. Jenny pandai menyembunyikan emosi di wajahnya.

"Hanya untuk berjaga-jaga. Tidak ada yang tahu apa yang ada di hutan itu nanti. Kaisar memiliki banyak musuh yang ingin menjatuhkannya. Dan menodaimu adalah salah satu caranya. Jika sampai kau jatuh ke tangan orang asing, bunuh diri adalah pilihan untukmu, Odette. Mengerti?"

"Ayah?"

"Ayah tidak mau mendengar ketakutan atau keraguan di dalam dirimu. Ayah tidak mau memiliki putri yang ternoda pemberontak. Kau harus patuh dan sembunyikan racun itu dengan baik."

Ibu hanya menangis menatapku. Tidak ada kalimat yang bisa dia katakan karena ayah memang memegang peranan utama dalam keluarga kami.

Mencuri Selir KaisarWhere stories live. Discover now