12

53 14 0
                                    

Aku bangun dengan langsung duduk. Segera menatap sekitar dan menemukan pria itu tidur dengan bersandar pada dinding gua. Dia tidur dengan duduk? Hebat dia bisa melakukannya.

Pelan aku bergerak meninggalkan tempat tidurku. Aku mau mencari air untuk membasuh wajahku. Aku tidak mau dia melihatku dalam keadaan kotor karena aku merasa demikian. Pipiku terasa dipenuhi dengan tanah kering.

"Kau akan melarikan diri, Butter?"

Aku berbalik menatapnya kesal. Aku memegang dadaku sesaat setelah dia bersuara. "Apa kau mau membuat aku jantungan?"

Pria itu berjalan mendekat. Aku mengalihkan wajah. "Kenapa?" dia menyentuh rahangku.

Aku menepis tangannya. "Jangan melihat."

"Ada apa denganmu?"

"Aku hanya mau membasuh wajahku. Apa kau tahu di mana airnya?"

"Itu air minum kita, Butter. Sungai masih jauh jadi kau harus menghemat airnya. Kenapa kau harus membasuh wajah sekarang. Penampilanmu tidak buruk."

"Sungguh?"

"Hmm-mm."

Aku mendesah dengan lega. Baiklah, kalau memang tidak buruk, aku tidak membutuhkan air.

"Apa kau begitu ingin menjaga penampilan di depanku?"

Aku terbatuk. Dengan suara keras. "Apa yang kau katakan? Aku tidak seperti itu. Aku hanya ...."

Dia mengangguk kecil. "Hanya?"

"Itu kebiasaan."

"Ah, rupanya seperti itu. Aku hampir salah paham."

Aku menatap kesal padanya. Apalagi kalau dia sudah tersenyum mengejek seperti yang dia perlihatkan sekarang. Dia sungguh manusia menyebalkan nomor dua. Nomor satu tetap dipegang oleh ayahku tentunya.

Mengingatnya membuat aku menatap Hanzo dengan dalam. Apa aku harus bertanya padanya?

"Apa? Jangan menatapku seperti itu."

Aku berdeham. "Soal ayahku."

"Kenapa dengan ayahmu?"

"Apakah dia benar-benar akan membunuhku demi menjaga nama baik keluarga? Meski aku katakan kau tidak pernah menyentuhku?"

"Menurutmu aku tidak pernah menyentuhmu?"

"Apa?"

Dia mengangguk memberikan persetujuan pada apa yang aku pikirkan.

Aku menatap di mana aku tidur semalam dan aku meraba tubuhku sendiri. Rasanya tidak mungkin, kalau dia memang melakukan sesuatu, aku seharusnya sudah tahu. Tidak mungkin.

"Lihat, kau saja langsung ragu saat aku mengatakannya. Dan kau pikir ayahmu akan percaya aku tidak melakukan apa pun pada putrinya yang bisa menaikkan hasrat siapa pun yang melihatnya?"

"Kau tidak serius yang tadi?"

"Tentu tidak. Aku tidak berminat pada gadis tidur."

Aku memukul dadanya kesal. Beberapa kali aku melakukannya dan dia membiarkannya. Aku hampir menangis karena perkataannya. Dia seharusnya tidak melakukannya.

Tapi setelah aku memikirkannya, yang dia katakan benar juga. Bahkan saat satu kalimat datang dari mulut pria itu, aku langsung meragukan segala hal di dalam diriku. Kesadaranku dan ketidaktahuanku. Aku percaya pada Hanzo, pada perkataannya itu, aku mempercayainya.

Bahkan tubuhku sendiri tidak percaya pada dirinya, lantas bagaimana bisa aku membuat orang lain percaya kalau Hanzo tidak melakukannya. Mereka tetap akan menyatakan aku wanita yang sudah terjamah. Dan itu buruk untuk reputasiku.

"Ini artinya, aku tidak akan pernah bisa menikah?"

"Hmm?"

"Meski aku bebas darimu, Hanzo. Aku tidak akan pernah bisa bebas. Tidak ada yang mau menikahi perempuan yang sudah terjamah tangan pria lain sebelum pernikahan."

"Kau sangat ingin menikah?"

"Tidak juga. Aku hanya mau bebas dan menentukan sendiri hidupku. Tidak ada yang lebih kuinginkan dari kebebasan. Pernikahan hanya nomor dua bagiku."

"Kalau begitu bagus. Kau tidak perlu khawatir karena kau tidak benar-benar menginginkannya."

"Tetap saja aku khawatir. Aku perempuan, tidak akan pernah ada kebebasan untukku. Jadi, aku hanya bisa mengandalkan suami yang baik untuk mendapatkannya. Tapi sekarang, segalanya tampak suram. Apalagi ayahku akan membunuhku. Hidupku benar-benar menyedihkan."

Mencuri Selir KaisarNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ