11

56 14 0
                                    

Hanzo membawaku ke tepian jurang, kalau aku bisa mencurigainya, kurasa dia akan mendorong agar terperosok ke jurang itu. Tapi tahu kalau dia tidak berniat membunuhku, membuat aku tidak mengrti kenapa dia membawaku ke tempat ini.

Beberapa saat pertanyaanku terjawab. Di tepi jurang itu ada jalan rahasia yang di mana kaki kami bisa menginjak sebuah anak tangga yang terbuat dari tanah,

Hanzo lebih dulu turun dan dia meraih pinggangku untuk turun bersamanya. Kami harus sedikit menunduk untuk sampai ke sebuah gua yang begitu luas di dalamnya. Dengan pemandangan jurang yang indah.

"Kau memang sudah tahu ada tempat di sini?" tanyaku menatap dinding gua yang terbuat dari batu yang keras. Aku memukul-mukul untuk memastikan. Aku tidak mau terkubur hidup-hidup di dalam bersamanya.

"Ya. Apa yang kau cari?"

Aku berbalik. "Hanya memastikan, guanya kokoh."

Dia tersenyum dan menggeleng. Dia berjongkok di pintu masuk gua dan mengumpulkan kayu kering yang memang ada di sana lalu membakarnya. Itu membuat guannya memiliki penerangan yang cukup. Aku bisa menatap dia dengan lebih baik sekarang.

"Kemari, kau harus makan makan, Butter."

Aku mendekat padanya dan duduk di sampingnya, dengan jarak yang masih dibilang aman.

Dia menyerahkan roti lagi padaku. Aku menatap roti itu dengan lesu.

"Kenapa? Tidak mau?"

Aku menatapnya. "Hanya berpikir, mungkin ini makanan terakhir yang bisa masuk ke perutku. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi besok padaku."

"Aku tidak akan membiarkanmu terbunuh dalam waktu dekat. Tenang saja."

"Wah, terima kasih. Kau pandai menghibur."

"Sama-sama."

Aku mengabaikannya dan mulai memakan roti itu dengan cepat. Tidak lama air tersodor ke depanku. Aku mengambilnya dan menenggak isinya. Aku menatap api di depan kami yang meliuk tertiup angin.

Tidak tahan membisu cukup lama di dekatnya, aku memutuskan bersuara. "Ke mana tujuan kita?"

"Negeri seberang."

"Kerajaan lain? Kau dari kerajaan lain?" tanyaku terkejut.

"Menurutmu?"

Aku menatap dia cukup lama. Lalu menggeleng. "Semuanya tampak kau dari negeri ini. Kerajaan ini. Kau tidak mungkin orang lain. Kau khas kerajaan ini."

"Pandai."

Dia sedang memujiku? "Jadi kenapa kita ke negeri seberang?"

"Ada rahasia yang tidak bisa kukatakan padamu, Butter."

Kuberikan dengusan padanya dan semua rahasia yang aku harap dia bawa sampai mati. Aku kembali sibuk dengan makananku.

"Aku ingin makan daging dan nasi. Aku benar-benar tidak bersyukur dengan makananku selama ini. Meski di kurung, aku harusnya tetap bahagia dengan makanan yang ada di depanku. Tapi aku malah sibuk terus menyalahkan wajahku dan tidak menikmati makananku sama sekali. Aku benar-benar buruk. Tuhan menghukumku."

"Apa yang kau celotehkan?"

"Bukan apa-apa. Aku sudah kenyang. Aku mau tidur."

'"Rotimu belum habis."

"Akan kuhabiskan besok. Aku mau irit, aku tidak mau mati kelaparan karena dalam perjalanan ke negeri seberang, masih sangat panjang untuk dilalui. Kau juga harus melakukannya. Belum tentu kau memiliki uang untuk membelinya."

"Kau meremehkan aku?"

"Tidak. Aku hanya bicara kenyataan."

Dia menatap aku dengan desahannya. Dia kemudian bergerak meraih tasnya dan menepuknya. "Kau bisa tidur di sini."

Aku menatap tempat tidur yang beralaskan tanah itu. Apa memangnya yang aku harapkan?

"Ada apa? Kau mau tidur di pelukanku? Itu akan membuat kau lebih hangat."

Aku mendorongnya kesal. Lalu aku berbaring di tanah itu dan menjadikan tasnya sebagai bantalku. Aku terlentang dengan kedua tangan ada di atas perutku. Mataku terpejam dengan senyuman tipis karena rupanya tempat tidurku tidak terlalu buruk.

Dan yang lebih membuat aku merasa aneh adalah aku yang dengan mudah terlelap dan mengarungi mimpi. Seperti aku tertidur di kuda itu, aku tidak sadar kalau aku sudah tidur.

Dengan segala keadaan tempat dan siapa yang bersamaku, harusnya aku tidak mudah lelap. Tapi tubuhku mengkhianati pikiranku.

Mencuri Selir KaisarWhere stories live. Discover now