9

53 16 0
                                    

Awalnya aku tidak mengerti kenapa dia menatap ke area dadaku cukup lama. Karena sejak awal, dia tidak pernah bertindak tidak sopan seperti sekarang. Tapi saat aku ingat kalau korset itu sudah tidak ada di sana, aku ikut menatap ke dadaku dan menemukan kalau puncak payudaraku jelas menonjol. Hampir menusuk ke kain gaunku.

Kedua tanganku menutup area itu dengan rasa malu luar biasa. Aku berbalik dan bibirku gemetar. Bahkan untuk memberikan kata-kata marah pada pria itu, aku tidak bisa melakukannya. Aku menutup wajah dengan kedua tangan.

Hingga kurasakan benda hangat yang menempel di punggungku. Aku meraih benda itu dengan satu tangan, menatap kemudian. Kutemukan pakaian luar pria itu sudah berada di pundakku.

"Kau bisa mengenakan itu. Agar tidak ada yang melihat."

Tidak ada jawaban. Aku tidak bisa bersuara. Aku terlalu malu untuk melakukannya.

"Di mana korsetmu?"

"Kenapa menanyakannya?"

"Aku hanya ingin membuangnya. Jangan sampai ada yang tahu kita berada di sini. Apalagi sampai bandit hutan tahu kalau ada perempuan yang tidak memakai korset berada di wilayah mereka."

Telunjukku mengarah ke dalam. Dia masuk dan aku menunggu dengan tidak sabar. Dia akan membawa korset itu dengan tangannya? Oh, betapa memalukannya. Harusnya aku berinisiatif membawa korset itu. Jadi dia tidak perlu ikut campur.

Tidak lama dia keluar. Dia tidak membawa apa pun.

"Di mana korsetnya?"

"Sudah dibakar. Tidak akan ada yang tahu."

Dia berjalan meninggalkan aku. Aku yang takut sendiri segera mengejar dan berjalan di belakangnya. Aku memasukkan tanganku ke lengan baju milik pria itu.

"Siapa namamu?"

Dia berhenti, menatapku dengan penasaran. "Kenapa kau ingin tahu?"

Aku menggeleng kecil. "Hanya ingin tahu. Kalau aku bisa bebas darimu, setidaknya aku bisa menyebarkan nama penjahat yang sudah membunuh orang-orang tidak berdosa itu."

"Tidak berdosa?" dia terkekeh. "Kau harusnya tahu. Di dunia ini, tidak ada manusia yang tidak berdosa. Kita lahir dengan membawa dosa, Butter."

"Kau akan mengatakan namamu atau tidak?"

"Sungguh ingin tahu?"

Aku menghentak kakiku ke tanah. "Kalau tidak mau mengatakannya, maka jangan katakan. Menyebalkan." Aku melangkah meninggalkannya, dengan langkah cepat.

"Hanzo."

Aku berhenti.

"Namaku Hanzo Gizon. Ingat itu dan sebarkan kalau nanti kau benar-benar bebas dariku dan bebas dari buruan ayahmu."

"Kau yakin ayahku akan memenggalku, Hanzo?"

Dia berpikir sejenak dan kemudian mengangguk. "Dia pasti akan melakukannya. Tapi tidak di depan kaisar atau orang-orang kaisar. Dia jelas akan menyewa pembunuh bayaran untuk mengakhiri nyawa putrinya. Dia akan melakukannya."

Aku menarik napas dengan kasar. "Biarkan dia melakukannya. Bagaimana pun, dia ayahku."

"Kau akan menyerahkan nyawa pada ayahmu?"

"Sama saja. Mati di tanganmu. Di tangan kaisar. Juga di tangan ayahku. Kalau kau menjadi aku. bukankah kau juga akan memilih mati di tangan ayahmu sendiri?"

"Tidak. Aku akan membunuh mereka yang coba membunuhku. Jangan membuat pengandaian denganku, Butter. Aku sudah pernah melihat yang terburuk. Pengkhianatan dan juga kasih sayang yang palsu. Aku pernah melihat semuanya. Jadi, kau tidak bisa menyamakan jawaban kita, Butter."

"Jika ada yang mau membunuhku, apa yang akan kau lakukan?"

"Melindungimu."

"Kenapa?"

"Karena aku lebih suka membunuhmu dengan tanganku sendiri. Kalau kau mati di tanganku, aku bisa memastikan kematianmu cepat dan tanpa ada rasa sakit. Aku janjikan itu padamu, Butter." Dia berjalan dan menepuk pundakku dengan santai.

Aku menatap dia yang menjauh. Hatiku berdebar. Seperti aku berjalan di ranjau sekarang. Apa yang aku injak, akan menentukan apakah ada kehidupan bagiku atau malah kematian.

Aku menggeleng. Setidaknya, aku harus menyelamatkan Jenny. Jika pun harus mati, aku akan menerimanya. Tapi aku tidak mau mati dengan percuma. Aku harus tahu apakah ayahku benar-benar akan membunuhku.

Mencuri Selir KaisarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang