13

57 14 0
                                    

Hanzo menatapku dengan pandangan tidak terbaca, hanya sesaat dan kupikir mengkhayalkannya. Karena sedetik kemudian, dia kembali ke mode menyebalkannya.

Dia berdiri dan mematikan api dengan air.

"Ayo, kita lanjutkan perjalanan."

"Di mana rotiku yang aku sisakan itu?"

"Sudah aku habiskan."

"Apa?" Aku berwajah sedih dan merana. Dia sudah tahu kalau nasibku untuk ke depannya akan sangat buruk tapi dia tetap menghabiskan roti yang aku sisakan dengan susah payah. Aku rela menekan laparku demi mendapatkan roti itu di pagi harinya. Dan dia memakannya. "Tunggu, roti itu bekasku. Kau memakannya?"

"Ada masalah?"

Aku berdiri dengan kesal. "Tidak. Sama sekali tidak ada."

Aku bergerak meninggalkanya yang sibuk memasukkan beberapa barang ke dalam tas.

"Tunggu, kau akan jatuh nanti."

"Aku bukan anak kecil. Aku tahu jalannya dan terima kasih, karena aku tidak membutuhkan kau memegangku lagi."

Aku berjalan dengan percaya diri dan melewati kembali jalan kecil itu hanya untuk menginjak ke tanah yang berlubang dan hampir membawa tubuhku jatuh ke jurang menyeramkan itu.

Hanzo cepat menangkapku dan memandangku dengan jengkel. "Lihat? Kau akan membunuh dirimu terlebih dahulu dari pada ayahmu yang membunuhmu."

Aku hanya cemberut. "Kau tampak ingin aku benar-benar mati."

"Jika aku menginginkannya, maka aku akan melepaskanmu dan membuatmu jatuh ke jurang itu. Yang lebih baik lagi, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri. Tapi lihat, aku tidak melakukan keduanya."

Aku hanya cemberut.

Akhirnya dengan pegangannya di lenganku, kami berjalan meninggalkan gua itu dan kembali ke kuda yang tengah makan rumput dengan asik.

Kudanya lebih baik dariku. Dia bisa memakan rumput nikmat itu tanpa perlu takut kematian mengejarnya. Tidak sepertiku yang bahkan belum sarapan.

Hanzo sudah naik ke kudanya. Dia mengulurkan tangan dan aku meraihnya. Dia menarik aku naik kuda dengan mudah. Kami berjalan menelusuri hutan dengan suara burung dan angin lembut yang membelai wajah.

"Hanzo?"

"Hmm?"

"Menurutmu, jika kau menjadi ayahku. Jika kau memiliki anak perempuan yang dibawa lari oleh pria jahat, apakah kau akan membunuh putrimu juga?"

"Kenapa? Kau mau memiliki anak denganku?"

"Tidak!" seruku kesal. "Aku hanya memisalkan. Andainya. Apa kau tidak mengerti?"

Bisa kurasakan senyumannya di belakang sana. Dan entah kenapa aku merasa lega dengan senyumannya itu. "Aku akan membunuh pria itu. Putriku tidak bersalah jadi aku tidak akan membunuhnya."

"Andai pemikiran ayahku sepertimu."

"Ayahmu pria yang jahat, Butter. Kau harus mengakui itu sekarang. Dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Jika ada yang bisa berkhianat untuk melengserkan kaisar, maka ayahmu adalah tersangka utamanya."

"Tidak mungkin seburuk itu?"

"Kau pikir ayahmu tidak buruk?"

Aku diam. Jika memikirkannya, aku memang tidak benar-benar mengenal ayahku. Kami tidak pernah bicara cukup dalam dan banyak hal yang tampaknya dia lakukan di belakangku dan di belakang ibuku.

Ayahku memang tidak pernah main tangan. Tapi segala titah yang dia berikan tidak pernah demi kebahagiaanku. Semuanya hanya demi menjaga nama baik keluarganya dan nama baiknya sendiri.

"Kau menangis?" tanya Hanzo menjenguk wajahku.

Aku mengusap wajahku dan mencari di mana airmataku.

Dia tertawa dengan keras dan aku dengan kesal menyikut perutku. Dia mengaduh tapi tidak berhenti tertawa. Dia senang sekali mengerjaiku. Membuat aku benar-benar ingin memukul bibirnya itu.

Aku cemberut di sisa perjalanan. Perasaanku benar-benar buruk. Apalagi saat kini aku mulai yakin kalau ayahku benar-benar ingin mengakhiri hidupku sendiri. Apa yanga kan dilakukan ayah untuk membuat aku mati? Menebas leherku? Menggantungku atau menusukku dengan pedang? Semuanya terasa buruk bagiku.

Aku tidak mau memikirkannya. Semakin dipikirkan, semakin buruk rasa perasaanku.

Mencuri Selir KaisarWhere stories live. Discover now