20

54 16 0
                                    

Rengkuhannya yang erat membuat aku tidak bisa bernapas dengan normal. Tapi tidak masalah, selama itu tubuhnya, aku bahkan rela tidak bernapas juga. Rasanya begitu nyaman memiliki seseorang yang bisa memelukku dengan erat. Juga bisa berbagi perasaan denganku.

Ah, aku sungguh menikmatinya.

Senyumanku mengembang hanya untuk redup beberapa saat kemudian. Karena aku baru sadar kalau kami tidak berada dalam hubungan di mana dia bisa memelukku dengan seerat ini.

Aku membuka mata dan mendongak menatapnya yang masih lelap dengan damai. Aku mendorongnya dan membuat tubuhku berjarak darinya. Aku bangun dengan kedua lenganku memeluk tubuhku.

Mataku liar menatap ke arah pakaianku sendiri. Berusaha menyangkal kalau kami sangat dekat dan aku sangat bahagia.

"Kau kedinginan tadi malam, Butter. Kau datang padaku dan memintaku memelukmu. Malam tadi memang cukup dingin."

Aku berdeham. Berusaha tidak menunjukkan kalau aku terkejut dengan posisi kami. Aku tidak mau dia tahu betapa besar dia bisa mempengaruhiku.

Hanzo bangun dan berusaha membuka kelopak matanya yang tampaknya susah. Dia menatapku setelah berhasil membuka matanya dan bisa melihat apa yang dilihatnya di depannya.

"Kau berpikir aku melakukan sesuatu padamu?"

"Tidak."

"Kau menjawab terlalu cepat. Itu membuat aku curiga."

Aku menelan ludah, menunggu beberapa saat. Lalu menjawab, "tidak."

"Ah, kau memang berpikir demikian."

"Aku sudah katakan tidak. Tidak, tidak, tidak!"

"Baik, kalau memang tidak. Kau tidak perlu menekannya."

Aku turun dari ranjang dan merapikan penampilanku. Aku mendengar suara ribut di luar sana dan coba membuka jendela untuk memastikan dari mana suara itu berasal. Tapi aku ingat dengan peringatan yang dikatakan Hanzo. Aku takut akan ada panah yang menembus perutku.

"Boleh aku keluar?" tanyaku menatap Hanzo.

"Kau sungguh bertanya padaku, Butter?"

Aku berdeham. "Aku akan keluar."

"Kau tidak perlu memberitahuku."

Aku memicing padanya. Dia tertawa dengan keras. Dia benar-benar tidak akan meninggalkan kesenangannya saat berhasil menggodaku.

Dengan kesal dan kaki dihentak ke lantai, aku meninggalkannya. Tidak lagi mengucapkan satu patah kata pun yang bisa dia artikan seenaknya.

"NONA!!!"

Suara panggilan dengan nada yang begitu aku kenali itu membawa aku berlari dan membuka pintu. Di depanku sudah berdiri Jenny dengan matanya yang berkaca-kaca. Aku mendekat padanya dan memeluknya dengan erat.

"Kau selamat. Ya ampun, kau selamat, Jenny."

"Ya, Nona. Anda juga. Saya tidak menyangka kita akan bertemu lagi. Saya tidak akan memaafkan diri saya kalau sampai anda benar-benar berada dalam bahaya karena saya."

"Bagaimana dengan lukamu?" Aku memeriksa tubuhnya. Sepertiku, dia sudah mengganti pakaiannya. Lebih sederhana dariku. Tapi itu membuat aku tahu kalau dia benar-benar sudah tidak terluka. Bahkan lengannya diobati dengan cukup baik. "Kau tidak terluka lagi?"

"Semuuanya sudah membaik, Nona. Saya sembuh dan semua berkat Billy."

Aku tidak menyangka mereka baik.

Mencuri Selir KaisarWhere stories live. Discover now