17

53 15 0
                                    

"Kenapa dia tidak boleh melakukannya?" tanya sebuah suara yang datang dari arah pintu di mana aku menatap tadi.

Hanzo sudah keluar dari sana dan aku menatap seksama. Mencari keberadaan wanita yang memberikan kenikmatan padanya.

Tapi anehnya, aku masih menemukan orang bercumbu di dalam sana. Dengan sangat mesra dan luwes. Seolah tidak ada yang mengganggu mereka.

Pandanganku jatuh pada Hanzo. Aku menatap bibir dan lehernya. Tidak ada yang aneh. Dia sama sekali tidak meninggalkan bekas apa pun.

"Anda bertemu dengan Welch, Bos?"

"Ya. Dia tidak mau melepaskan wanita itu jadi aku bicara dengannya sambil melihat dia bercumbu mesra. Sangat tidak menyenangkan untuk dilihat."

"Anda mendapatkan informasinya."

"Seharusnya dapat. Aku akan mengabarkan pada yang lain soal apa yang diketahui pria itu soal negeri seberang itu."

Elvira mengangguk.

"Siapkan makanan untuknya. Yang paling enak. Karena beberapa hari ini dia hanya makan roti."

"Baik, Bos. Saya akan mengantar ke kamar anda."

Hanzo mengangguk. Dia mendekatiku setelah Elvira pergi. Aku masih menatap antara dirinya dan bayangan orang bercumbu tersebut. "Ada apa, Butter?"

Aku berdeham, malu sendiri oleh apa yang aku dugakan.

"Butter-ku yang konyol."

Aku cemberut ke arahnya. "Kau yang konyol."

"Kau yang konyol, Butter. Kau pikir aku yang ada di dalam sana dan sedang bercumbu dengan seorang pelacur?"

"Apa? Tidak."

"Ah, Butter-ku panik. Benar ternyata."

"Aku bilang tidak!"

Hanzo menunduk sedikit di depanku. Dia mensejajarkan wajah kami. "Kataku yang mana yang tidak kau mengerti, Butter?"

"Hmm?"

"Aku tidak suka berbagi. Apa yang menjadi milikku, tidak boleh dimiliki pria lain. Jadi, aku tidak akan cocok dengan pelacur. Mengerti?"

Aku melengos. "Tidak."

"Butter, kau cemburu?"

"Kau gila! Di mana jalannya?" tanyaku dengan kesal. Kesal karena dia sepertinya benar. Apakah aku sungguh cemburu sesaat tadi? Aku tidak mau mengakuinya tapi aku tidak bisa mengabaikannya.

Dia melangkah di sampingku. Kedua tangannya ada di belakang tubuhnya. Dia tersenyum konyol dengan gelengannya yang mengejek. Aku mau menghapus kekonyolan itu.

Kami melangkah ke arah lain dan di sana ada pintu penghubung. Hanzo membukanya dengan kunci yang dia bawa. Saat masuk ke pintu yang sudah terbuka, aku seperti menemukan hal lain di dalam tempat ini. Sebuah tempat rahasia yang tidak sembarang orang bisa menginjaknya.

Ada bangunan dengan dua lantai yang tampak begitu kokoh dan mewah. Tidak ada orang di sini. Hanya ada kami berdua dan lampu yang sudah menyala sepenuhnya. Tempat ini menjadi terang meski malam tidak memiliki bulan.

Apalagi dengan bagian lantai dari tempat ini yang seperti terbuat dari kayu asli. Aku suka dengan tempat tenang ini.

"Lewat sini, Butter," ucap Hanzo yang sudah membawa aku ke lantai dua.

Kami bergerak ke arah kiri dan menemukan pintu dengan dua daun pintu di sana. Dia membukanya dan mempersilakan aku masuk dan menyalakan lampu ruangan itu yang adalah kamar mewah.

Aku berlari kecil ke tengah ruangan. Melihat seksama semua area dengan senyuman lebar. Di sini begitu tenang tanpa ada suara. Aku betah.

"Kau suka tempatnya?" tanya pria itu yang sudah duduk di sofa dengan manis.

"Ya. Apa ini benar-benar tempatmu?"

"Kamarku."

Aku membeku. Menatap ke arah ranjang. "Kamarmu?"

"Ya. Kamar pribadiku saat aku datang berkunjung. Akan tetap dibersihkan meski aku tidak datang. Tempat ini tetap dirawat dengan baik jadi kau tenang saja. Tidak ada debunya."

"Aku tidak takut debu."

"Hmm, lalu apa yang ditakutkan oleh Butter-ku?"

Aku mendengus. "Tidak ada."

"Sungguh tidak ada? Wah, hebat. Aku saja memiliki ketakutan dan kau tidak memilikinya. Aku seharusnya memintamu mengajarkan aku agar aku tidak memiliki keakutanku. Bisakah kau melakukannya.."

Aku mendorongnya yang datang mendekat. "Hentikan," ucapku tegas.

Tapi dia menangkap tanganku.

Mencuri Selir KaisarWhere stories live. Discover now