14

51 16 1
                                    

Segala keresahan, risau dan perasaan tidak enak itu berubah menjadi hal yang menggembirakan. Aku menatap ke depan dengan mata berlinang kebahagiaan dan senyuman yang terukir dengan sempurna. Rasanya seperti baru saja mendapatkan hadiah yang seribu kali lipat indahnya.

"Senang sekarang?" tanya Hanzo di dekat telingaku.

Aku mengangguk dengan bahagia. Seteah terlunta-lunta tiga hari, kami akhirnya berhasil menemukan sebuah pasar yang begitu besar.

Hanzo turun dari kudanya. Dia meraih pinggangku dan membawa aku turun. Aku sudah akan berlari ke arah orang-orang dan melihat apa saja yang dijual. Selama ini aku tidak pernah ke pasar.

Tapi tangan Hanzo menahan tubuhku, dia menatapku seolah aku gila.

"Kita buruan sekarang. Kau harus menutup dirimu dulu."

"Tapi, aku hanya mau melihat-lihat."

"Akan ada saatnya. Sekarang kita ke tempat aman dulu. Nanti malam aku akan mengajakmu melihat apa saja yang ada di pasar. Bagaimana?"

Aku diam. Menatap pasar.

"Keamanan lebih utama, Butter. Aku tidak mau bertarung di lautan manusia. Akan banyak yang terluka. Aku peduli tapi para pembunuh yang disewa ayahmu tidak akan peduli."

Aku menatap semua orang yang sibuk belanja dan menjual. Mereka tampak bahagia dan ceria. Aku tidak mau menghilangkan itu dari wajah mereka.

Dengan lesu aku memberikan anggukan.

Hanzo mengusap kepalaku. "Bagus, Butter. Kau membuat keputusan yang tepat."

Aku menepis tangannya dan bersedekap. "Ke mana?"

Pria itu hanya mengulum senyuman dan melangkah memperlihatkan jalan. Aku tadinya mau jalan di belakangnya, tapi dia menahan langkahnya agar kami berjalan bersama.

Aku berjalan bersamanya dengan pandaganku yang menatap sekitar. Dia meninggalkan kudanya di dekat pasar dan ada yang mengambilnya. Aku behenti untuk melihat akan dia bawa ke mana kuda itu. Aku harus memastikan orang itu mencuri agar bisa kubertahuan pada Hanzo.

"Dia bukan pencuri."

Aku menatap Hanzo yang juga berhenti karena aku berhenti. "Bagaimana kau tahu?"

"Aku mengenalnya. Dia hanya mengamankan kudaku. Dia akan memberikannya kalau nanti memang sudah saatnya kita melanjutkan perjalanan."

"Oh begitu." Aku kemballi jalan dengan langkah cuek ke arahnya.

Kami tiba di sebuah rumah dengan nama bunga melati putih. Aku menatap siapa saja yang masuk ke rumah itu dan tampaknya semuanya kebanyakan pria.

Pria hidung belang yang mengerikan.

Aku berhenti, menahan lengan Hanzo. "Apa yang kita lakukan di sini?"

"Makan. Bukankah kau lapar?"

"Tidak, kau akan menjualku?" tanyaku menatap dengan tidak percaya padanya. Aku salah telah percaya padanya. Aku seharusnya tidak mempercayai pria jahat ini.

Aku sudah bergerak hendak melarikan diri. Tapi Hanzo yang bisa membaca gerakanku segera meraih tubuhku dan memelukku dari belakang. Aku terus berontak berusaha melepaskan diri, tapi semakin aku melakukannya, semakin kuat dia menahanku.

Dia memelukku dengan erat sementara aku terisak tidak mau.

"Jangan lakukan ini, Hanzo. Jangan menjualku. Aku tidak mau. Aku lebih suka kau membunuhku."

"Buter, sssttt, bisakah kau berhenti melawan?"

"Tidak. Aku tidak akan pernah masuk ke dalam."

"Apa yang menjadi milikku, tidak akan kubiarkan orang lain memilikinya. Aku tidak suka berbagi dan tidak suka ada orang lain yang bisa memilikimu selain aku. Suka atau tidak, kau adalah milikku, Butter. Percaya atau tidak, aku bisa membunuh siapa pun yang meletakkan tangannya di sehelai rambutmu. Jadi, menurutmu, apakah aku akan membiarkan kau melayani pria di tempat ini? Jangan konyol, Butter."

"Lalu kenapa kau membawa aku ke sini?"

"Tempat ini adalah milikku. Aku membangunkannya dan menghasilkan banyak uang. Jadi aku mempertahankannya. Kita di sini hanya untuk bertemu dengan Billy dan pelayanmu. Di sini titik pertemuannya dan aku mau kau mendapatkan pakaian yang lebih layak."

Aku selesai berontak. Dia melepaskan aku kemudian.

Mencuri Selir KaisarWhere stories live. Discover now