7

61 16 0
                                    

"Kau menyakiti kudanya, apa kau sejahat itu, Butter? Kau tidak lihat kudanya kesakitan?"

Aku menatap kuda mendengar apa yang dia katakan. Aku melihat kudanya memang tampak tidak baik-baik saja. Dan aku melepaskan peganganku dengan terkejut. Aku tidak memperhatikannya.

Pria itu berhasil menangkap pinggangku dan membawa aku turun untuk memberikan aku remasan kuat di pinggangku sampai aku meringis kesakitan.

"Kau menyakitiku!"

"Kenapa? Tidak pernah ada yang menyakitimu?"

Aku mendongak menatapnya, memberikan pandangan membunuh padanya. Dan dia hanya memberikan seringaian geli padaku.

Berusaha aku meloloskan diri dari pegangannya, tapi tidak mudah. Aku sampai mundur dan menabrak pohon dengan cukup kuat. Aku sampai meringis kesakitan dan barulah dia melepaskan aku dengan tiba-tiba. Aku menatap marah padanya, tapi tidak berani mengatakan apa pun. Aku takut kalau aku akan menyinggungnya lagi dan dia menyakitiku.

Dia tidak peduli perempuan atau laki-laki. Kalau ada yang membuatnya tidak senang, dia akan menyakitinya. Dia memang pria jahat.

"Kau tidak lapar, Butter?"

"Aku tidak butuh makan."

Perutku berbunyi. Aku memegangnya. Seharusnya dia tidak mengingatkan aku soal makanan, maka perutku tidak akan bereaksi. Sangat memalukan.

Bisa kulihat bagaimana dia menyembunyikan senyumannya.

Dia meraih tanganku, dan menarik aku ke arah rerumputan. Kami duduk di sana dengan dia ada di sebelahku. Dia tidak mengikatku dan tidak menahanku, tapi Jenny menjadi tebusan atas sikap patuh yang bisa kuberikan. Dia pandai menilai situasi dan dia tahu bagaimana menghadapi curiannya. Dia menyebalkan, intinya.

"Makanlah." Dia memberikan aku roti.

Aku menatap roti itu cukup lama. Ragu untuk mengambilnya.

Dia menatap rotinya dan kembali menyodorkan padaku. "Kau mau yang lebih baik dari ini? Sayang sekali, kita ada di tengah hutan dan hanya ini aku punya. Silakan, kalau kau mau kelaparan. Tapi pelayanmu juga tidak akan mendapatkan jatahnya."

Aku menatap Jenny yang di dudukkan bersandar di pohon. Dia menekan lukanya dengan tangan. Aku menatap Jenny yang tampak memejamkan mata.

Dengan terpaksa kuambil roti itu dari tangan pria jahat tersebut. Aku langsung memakannya dengan kesal.

Tapi setelah kunyahan pertama, aku tidak bisa menahan diri lagi. Aku menghabiskan roti seperti orang kesurupan. Ini karena aku tidak makan sejak kemarin.

"Kau punya lagi?" tanyaku dengan ragu.

"Kau tidak malu? Tadi kau bersikeras tidak mau. Sekarang malah mau lagi."

"Kalau memang tidak mau memberikan aku lagi, kau hanya perlu mengatakannya. Tidak perlu berbelit-belit."

Aku mengusap tanganku di gaunku. Menatap ke arah lain dan tidak mau menatapnya.

Dia menyerahkan roti padaku. Aku masih tidak memedulikannya.

"Kau sungguh ahli dalam merajuk, Butter. Aku penculikmu bukan suamimu. Kau mau merajuk padaku, maka kau kelaparan. Mengerti?"

Dengan enggan akhirnya aku mengambil roti itu, padahal aku masih ingin merajuk lebih lama. Setidaknya, padanya, aku bisa mengatakan apa pun dan melakukan apa pun. Dia paling hanya akan menyakitiku.

Tapi dia tidak pernah melarangku berbuat demikikan. Dia membebaskan aku melakukan dan mengatakan apa yang aku mau. Hanya saja, resikonya, hanya memar kalau melakukan hal yang tidak membuatnya senang. Tidak terlalu buruk.

Aku bergerak tidak nyaman dengan roti yang sudah habis kutelan. Aku baru merasakannya, pakaiannya menjadi ketat saat perutku penuh.

"Kenapa?" pria itu menatapku dengan bingung. Mungkin karena aku bergerak tidak tentu.

Aku menggeleng.

"Gaunmu membuat kau tidak bisa bergerak."

"Tidak. Hanya sedikit ketat."

"Buka saja."

Aku menatap marah padanya. Kedua tanganku menyilang di depan tubuh. "Apa yang akan kau lakukan?"

"Aku tidak akan memaksa perempuan yang tidak mau denganku. Aku akan menunggu kau merangkak sendiri ke ranjangku. Jadi, tenang saja, Butter. Cepat atau lambat, kau akan melakukannya."

Dengusan kuberikan padanya.

Mencuri Selir KaisarWhere stories live. Discover now