18

61 16 0
                                    

Mata kami bertemu, aku menemukan pandanganku tersesat ke dalam bola matanya yang indah dan menengkan. Deru napasnya yang pelan dan bagaimana tangan itu membelai lembut tanganku. Aku merasa seperti aku siap menyerahkan segalanya malam ini.

Apa yang dia minta, aku tidak akan menolaknya.

Tapi suara ketukan yang datang membuat aku segera menarik diri dan menarik tanganku. Aku tidak tahu kami menjadi lebih dekat. Itu makanya aku bisa merasakan hembusan napasnya. Rasanya seolah alam sendiri yang menyatukan kami. Karena aku tidak merasakan diriku mendekat padanya. Tubuhku tampak melakukan apa yang tidak bisa dinyatakan kepalaku.

Aku mendekat ke jendela dan membukanya. Tiba-tiba aku merasa sesak dan membutuhkan udara segar.

Tapi sebelum aku benar-benar menghilangkan beban di dadaku, tangan Hanzo sudah menarik aku ke arahnya dan membawa aku ke dekapannya. Dia menutup jendela itu kemudian.

Aku mendongak menatapnya, mempertanyakan kenapa dia melakukannya.

"Hati-hati, Butter. Penguasa negeri ini mengejar kita. Kau mau berakhir tertancap panah di sini." Hanzo menekan perutku dan membuat aku beku.

Pandanganku tertuju pada matanya lagi yang indah.

Suara ketukan terdengar lagi.

"Ada yang datang."

"Biarkan saja."

Aku mendorongnya. "Mungkin itu Elvira. Kau memintanya membawa makanan."

"Makanan menjadi nomor satu untukmu sekarang?" tanyanya tidak percaya.

"Aku lapar."

Dia bergerak ke arah pintu setelah memberikan aku gelengannya yang khas.

Aku duduk di sofa menunggunya.

Benar saja, memang Elvira yang datang. Tapi tidak sendiri. Dua perempuan bersamanya. Dengan nampan di tangan mereka yang berisi makanan penuh. Bahkan aroma makanan langsung tercium olehku hingga bunyi lapar di perutku terdengar nyaring.

Hanzo menatapku dengan mata gelinya. Aku mengalihkan pandangan dan tidak menatapnya. Berpura-pura kalau aku tidak sadar dengan pandangannya.

Semua makanan sudah ada di depan mataku. Aku meraih sendok dan segera mengambil makanan tanpa memedulikan situasiku.

"Tidak perlu dilayani. Dia akan makan sendiri," ucap Hanzo pada ketiga wanita itu.

Mereka menunduk dan undur diri. Setelah meninggalkan semua makanan di atas meja yang tidak sedikit.

"Kau pikir aku bisa menghabiskan semuanya?" tanyaku tidak yakin.

"Aku akan membantumu menghabiskannya. Tapi kurasa, meski aku tidak membantu, kau akan tetap bisa menghabiskannya."

"Kau mau mengatakan kalau aku rakus?"

"Tidak, Butter. Aku mau mengatakan kalau kau menghemat makanan. Kau tidak mungkin menyia-nyiakan makanan yang ada di depanmu. Kau pasti berusaha menghabiskannya, ya, kan?"

"Tentu. Bagus kau tahu. Aku tidak perlu menjelaskan."

Dia meletakkan tangan di belahan bibirnya, seolah hendak menahan tawanya pecah. Aku tidak memedulikannya. Aku sudah sibuk dengan makananku yang benar-benar membuat aku sadar kalau selama ini aku memang kurang dalam menghargai makanan yang ada di depanku.

Sekarang setelah benar-benar berada di situasi yang sulit, aku baru tahu kalau aku tidak seharusnya tidak bersyukur atas apa yang masuk ke mulutku.

Seperti yang dikatakan Hanzo, aku tidak akan menyia-nyiakan makanan itu. Aku makan dengan cepat.

"Pelan-pelan, Butter. Tidak akan ada yang berebut makanan denganmu."

"Bagaimana kalau ada yang tiba-tiba menangkap kita dan aku belum kenyang? Aku tidak mau mengambil resiko, aku akan makan dengan cepat."

Hanzo meraih tanganku dan menahannya. Aku menatap marah padanya.

"Tidak akan ada yang menangkap kita di sini. Kau mana."

"Tapi kau melarangku membuka jendela. Bukankah karena takut ada yang menangkap kita?"

"Di jendela pandangan orang bisa lebih jelas. Tapi tidak ada yang tahu kalau tempat ini adalah milikku. Semua berpikir Elvira pemiliknya. Jadi kau bisa makan dengan tenang."

"Baiklah."

Hanzo melepaskan tanganku.

Mencuri Selir KaisarWhere stories live. Discover now