10

59 18 0
                                    

"Bos?"

Kami berhenti. Billy sudah kembali dengan agak ngos-ngosan. Dia menatap padaku dan mengalihkan mata lagi ke arah bosnya.

"Seperti yang anda katakan, si tua Fauss itu bergerak lebih cepat dari kaisar. Dia menyewa tiga pembunuh profesional untuk mengakhiri nyawa putrinya sendiri dan nyawa anda. Dia akan mengatakan kalau anda membunuh putrinya dan dialah yang membunuh anda."

"Dia akan membuat sekenario yang bagus."

"Apa yang harus kita lakukan, Bos?"

"Seperti rencana. Mari berpencar. Kau harus mengalihkan perhatian tiga pembunuh itu. Buat mereka bingung dan kita bertemu di tempat biasa."

"Baiklah. Saya akan membawa pelayan itu bersama saya. Yang lain akan kembali ke tempat mereka."

Hanzo mengangguk.

Tanganku sudah diambil oleh pria itu. Dia menarik aku pergi. Aku menatap ke arah Jenny dengan tidak yakin.

"Dia tidak akan membunuh pelayanmu. Mereka akan bertemu dengan kita tiga hari lagi."

Aku ikut jalan saat Hanzo kembali menarikku. Meski aku tidak rela meninggalkan Jenny, tapi aku juga tidak bisa membahayakannya dengan terus bersamanya dan membuat kami ditemukan.

Satu gerakan Hanzo berhasil menaikkan aku ke kuda. Aku menatapnya yang masih bicara dengan Billy soal rute yang akan mereka lewati.

Setelahnya Hanzo naik ke kuda dan mengangguk pada Billy. Hanzo menarik tali kekang kuda dan kuda berlari dengan kencang. Kami hanya membawa sedikit bekal dan aku tidak yakin apakah kami akan bertahan selama tiga hari tersebut.

Kami berpisah dengan Billy dan Jenny yang menatap aku tidak yakin. Aku memberikan anggukan pada Jenny. Dia hanya menatap tidak berdaya padaku.

Setelahnya, kuda berlari dengan kencang. Aku sampai memegang lengan Hanzo untuk menahan diri dari ketakutanku sendiri.

"Kau takut?" tanya Hanzo yang mengerti.

"Takut juga tidak bisa memelan, bukan?"

"Pintar."

Aku hanya mendengus.

Kuda berlari dengan lebih kencang dan kami berhenti setelah malam hampir menjelang. Aku menatap ke belakang sana. Coba mencari apakah ada yang mengikuti kami.

Aku tidak bisa melihat siapa pun.

"Terlalu gelap untuk melihatnya. Sebaiknya turun saja," ucap Hanzo mengelulurkan tangannya.

Aku meraih uluran tangan itu dan terjatuh ke dalam pelukannya. Buru-buru aku mendorongnya dan membuat jarak di antara kami. Dia hanya menatap aku dengan gelengan pelan.

Hanzo membawa kudanya ke semak belukar. Dia memberikan isyarat pada kuda itu agar tidak bersuara. Dia bisa bicara dengan kuda? Aneh.

Hanzo kembali dengan tas selempangnya. Dia mengulurkan tangan lagi. Kali ini aku tidak meraihnya. Aku menatap tangan itu dengan keras kepala.

"Kau yakin mau jalan sendiri?"

"Aku bisa jalan sendiri," ucapku percaya.

"Butter yang konyol."

Mataku memicing padanya.

"Ayo jalan, bukankah kau mau jalan sendiri?"

Dengan dada membusung, bahu tegak dan dagu terangkat. Aku berjalan percaya diri. Melangkah dengan pasti dan hampir saja menginjak bagian pinggir jurang seandainya saja tidak ada tangan yang menarikku mundur hingga tubuh kami menempel.

Napasku memburu, pandanganku menatap dengan seksama apa yang ada di depan sana. Memang jurang. Jurang dalam tanpa terlihat ada air sama sekali. Malam yang hampir menjelang membawaku pada buruknya pengelihatanku.

"Masih mau jalan sendiri, Butter?" bisik Hanzo di dekat telinagku. Sampai membuat aku sedikit geli dan melupakan maut yang hampir menjemputku sesaat tadi.

Aku menggeleng kuat.

Tangan Hanzo ada di depan wajahku sekarang. Tanpa ragu aku mengambilnya, rupanya aku sangat takut dengan kematian. Sampai aku mengalah pada pencuri dan penjahat seperti Hanzo.

Kami jalan bersama.

Mencuri Selir KaisarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang