d'voice - 7

65 8 2
                                    

Aku menerka, dibalik gelap yang tidak akan bisa kutembus. Kamu menyapa, dengan suara bak setitik cahaya.

 Kamu menyapa, dengan suara bak setitik cahaya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

🍂

Lihatkan! seperti yang kukatakan kemarin, bahwa hal terbaik yang seharusnya kulakukan sebelum hari pernikahan adalah membiarkan diriku menampung banyak energi. Dari perkara menuruni tangga dan menyematkan cincin saja sudah menguras banyak tenaga, dan sekarang aku benar-benar merasakan pegal di tumit kakiku karena harus berdiri setiap kali tamu menyapa kami.

Aku tidak tahu sebanyak apa tepatnya, tapi tamu undangan ini tidak ada hentinya sejak aku dan Ibrahim berada diatas pelaminan. 

Setelah berfoto dengan beberapa tamu dan tersenyum kepada siapapun itu yang tidak bisa kulihat, kami akhirnya bisa duduk lagi. Ini tidak akan lama, percayalah. Jadi kami harus memanfaatkannya dengan baik.

"Pegel?"

"Eh?"

Aku mengerjap kikuk. Sumpah! aku harus belajar membiasakan diri dengan suara Ibrahim. Pasalnya dia memiliki tipe suara rendah yang berat dan suka tiba-tiba, yang mampu membuat seseorang sepertiku jantungan. 

"Lumayan" ucapku kaku.

"Hei bro! MasyaAllah!"

Kan! 

Aku refleks berdiri, dan cepat-cepat memasang senyum terbaikku. dari yang kutangkap sepertinya tamu kali ini adalah teman-teman Ibrahim.

"Barakallah, selamat banyak-banyak bro. lo hebat, asli."

"Thanks, bro. Lo sendiri kapan nih"

"Besok katanya nyusul Bram!"

"Harus sih. Biar besok lanjut pesta lagi."

"Yoi!"

"Doain aja lah"

Aku ikut tertawa mendengar orang-orang ini saling melempar lelucon.

"Kalo besok Desta belum jadi nikah, gimana kalau kita main aja, ajak Rejia. sekalian dipamerin juga ke anak-anak"

"Dipamerin banget nih kak?" Kataku bercanda

"Dipamerin dong, biar yang pengen juga makin ngebet" Ucap seseorang lainnya. Lalu kami tertawa.

"Kenapa harus besok? Sekarang juga udah bisa dipamerin"

Belum selesai kalimat Ibrahim, tubuhku tiba-tiba ditarik mendekat padanya dan dia menenggerkan lengan kokohnya melewati bahuku. Merangkulku.

Aku menelan ludah susah payah, menghitung ini adalah kontak fisik kami yang ke lima, mungkin?.
Aku tidak ingat tapi sejak menjadi halal aku merasa Ibrahim tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia canggung atau ragu dalam hubungan kami, berbeda sekali denganku yang masih sangat kaku dan malu terhadapnya.

d'voiceWhere stories live. Discover now