d'voice - 19

57 7 2
                                    

I Love you. And that's enough, isn't it?


🍂

18+
Part ini mengandung unsur dewasa. Dimohon bijak dalam membaca.

Ibrahim mengatakan bahwa dia juga sangat merindukanku selama sepuluh hari terakhir tanpa mendengar suaraku, tahu kabarku, mengkhawatirkanku dan bilang bahwa jika saja bukan karena tanggung jawab pada perusahaan yang sudah dipercayakan Papa dan Ayah, maka mungkin dia sudah kembali bahkan sebelum sampai di tujuan.

Kukira itu hanya omongan rayuan atau malah sebuah pengalihan, semacam caranya agar aku tidak marah karena dia telah mengingkari ucapannya sendiri. Tapi sepanjang jalan di dalam mobil ini, tangan kananku benar-benar tidak Ibrahim biarkan lepas dari genggamannya yang erat, sehingga sela jari hingga telapak tanganku panas dan bahkan dia bertekad akan menyetir hanya dengan satu tangan. Membuatku jadi tidak berkutik untuk berpikir jelek tentangnya, terjebak untuk mempercayainya.

"Ke rumah dulu jemput Bibi, Mas."

"Enggak. Besok saja Bibi ke rumah, kita berdua saja dulu."

"Loh kok gitu?"

"Memang kenapa? Kan sudah ada saya, besok yah Bibi nyusulnya."

"Ya sudah. Terserah Mas aja."

Dalam perjalanan itu Ibrahim menjelaskan alasan kenapa dia akhirnya harus lebih lama di Bandung. Seperti yang sudah ku tebak, masalah yang coba dia selesaikan ternyata tidak semudah yang dia bayangkan untuk segera selesai dalam hanya tiga hari, butuh waktu lebih lama dari perkiraannya. Ketika kutanya apakah semuanya sudah beres, dia bilang semua sudah beres dan aman untuk saat ini. Aku hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi, lagi pula aku tidak begitu mengerti tentang masalah perusahaan, walaupun juga pebisnis tapi jenis bisnis yang ku jalankan jelas sangat berbeda dengan bisni Ibrahim.

Kami akhirnya tiba di rumah, di rumah kami sendiri.

Aku tidak tahu sebanyak apa rasa rindunya Ibrahim, tapi bertemu dan berbicara dengannya bagiku sudah melerai sedikit perasaan itu dalam diriku tapi mungkin baginya itu saja tidak cukup sehingga dia juga tidak berniat melepas genggamannya bahkan sampai memasuki rumah.

Barulah ketika aku bilang ingin mandi dia mau melepaskanku. Selesai dengan urusan menyegarkan diri, masih dengan handuk yang melilit rambutku yang basah, aku menuruni tangga ketika aroma masakan dari dapur menuntunku berjalan. Dengan perlahan dan berpegang pada sisian pembatas tangga, aku menuruni anak tangga satu persatu dengan kaki telanjang.

"Mas?"

"Eh, saya kan bilang panggil saya kalau sudah selesai mandi."

"Itu tadi udah dipanggil. Mas."

"Dari atas harusnya."

"Mas. Aku udah bisa turun tangga sendiri, walaupun pelan tapi aku bisa."

"Iya. Saya senang."

Aku tersenyum.

"Kamu masak?"

"Nasi goreng. Tapi gak yakin sama rasanya."

"Aku cobain boleh?"

"Memang buat kamu, sayang."

Ibrahim membawaku duduk di salah satu kursi meja makan, dan aku yakin dia duduk di sebelahku, meletakkan sebuah piring diatas meja dan gelas. "Aaa.."

Kubuka mulut segera, menerima suapan itu, dan.... Ibrahim pasti bohong kalau dia tidak rajin memasak.

"Enak. Hm, enak banget. Lagi." Dia menyuapiku lagi

d'voiceWhere stories live. Discover now