d'voice - 33

73 9 3
                                    

Aku berada diambang keraguan, di ujung tanduk curiga dan prasangka. Aku bertanya-tanya bisa kah aku bertahan untuk tidak menyimpul sendiri, bisa kah aku menunggu ungkapmu yang pasti. Lalu, siap kah aku untuk fakta yang telah kau tutupi.


🍂


"Aku beneran gak papa Mas-"

"Gak papa apanya sih, kamu muntah-muntah udah dari kemarin. Kita ke rumah sakit sekarang yah!"

"Mas, beneran deh aku paling gak suka ke rumah sakit sebenarnya. Udah yah, ini cuma perlu istirahat. Lagian aku emang gak akan ke toko, gak ada Nabila aku gak bisa buka toko sendirian."

"Saya yang gak tenang pergi kerja kalau kamu gini."

"Ini bukan pertama kalinya aku sakit kamu kerja, ada Bibi kan. Udah yah, kamu berangkat sekarang"

"Tapi-"

"Udah, udah, udah. Berangkat sekarang." Aku cepat-cepat meraih tangannya untuk ku cium "Dah, assalamualaikum." Aku mendorong tubuh Ibrahim hingga keluar dari rumah dan menutup pintu segera.

Pada akhirnya pria itu berangkat juga walau pun belum apa-apa ponselku sudah berbunyi berisi pesan suara darinya.

Aku berjalan lesu menuju sofa ruang tamu untuk duduk dan menyandarkan punggungku dengan lemas disana. Pagi ini aku terbangun rasa mual yang hebat lalu berakhir muntah-muntah. Penderita maag sepertiku memang harus lebih memperhatikan pola makan dan makanan itu sendiri. Aku tidak tahu apa yang salah dengan makanan ku dari kemarin hingga efeknya sampai begini.

"Non!" Panggil Bibi

"Hm?"

"Ini Bibi buatkan teh hangat, biar lebih enakan, Non."

Aku segera menegakkan duduk ku dan bergeser untuk memberi Bibi tempat duduk di sampingku. Kuterima secangkir teh hangat yang Bibi berikan, menyeruputnya dan benar saja, rasa manisnya membuatku sedikit lebih baik.

Ku seruput sekali lagi lalu ku kembalikan pada Bibi.

"Bi?"

"Iya non?"

Aku mencari tangan Bibi untuk ku genggam, "Jia mungkin gak pernah bilang terima kasih banyak untuk semua yang sudah Bibi lakukan dari aku kecil sampai hari ini. Kedengarannya mungkin berlebihan tapi Jia benar-benar menganggap Bibi seperti Mama Jia sendiri."

Bibi meraih wajahku, mengelus pipiku dengan ibu jarinya.

"Non... Bibi yang makasih Non, karena Ibu, Bapak dan Non Jia Bibi jadi punya keluarga. Bibi bahagia bisa merawat Non, bekerja untuk orangtua Non, karena kalian juga baik sama Bibi."

"Kok bisa sih Bi? Bibi bertahan bekerja lama sama Mama Papa bahkan sekarang Bibi kerja buat aku sama suami?"

"Pertama kali Bibi dapat tawaran untuk kerja jadi pembantu di rumah Ibu Bapak, yang mereka tawarkan bukan langsung masalah uang atau gajinya Bibi."

"Terus apa Bi?"

"Waktu itu Ibu bilang 'saya nyari keluarga baru yang bisa bantu-bantu di rumah, seseorang yang bisa saya percaya'. Ibu dan Bapak minta Bibi jadi bagian dari keluarga mereka bukan pesuruh atau sekedar pembantu, awalnya Bibi ragu, gak percaya ada yang begitu, dimana-mana pembantu ya pembantu tapi di hari pertama Bibi kerja, Ibu nyuruh Bibi ikut makan sama-sama di meja makan. Dari hari itu sampai sekarang Bibi gak pernah merasa diperlakukan sebagai seorang pembantu tapi keluarga yang diandalkan."

"Pantas Mama pertahanin Bibi, Jia ingat banget Bibi sakit dan harus di rawat di rumah sakit Mama sendiri yang jagain Bibi langsung. Padahala hari itu Mama bisa aja nyari pembantu lain karena Bibi sakitnya lama tapi Mama tetap milih nunggu Bibi."

d'voiceWhere stories live. Discover now