d'voice - 15

55 9 1
                                    

Aku mulai merasa kamu adalah kebutuhan, yang mana sangat penting dan jadi mengecewakan kalau-kalau tidak kudapatkan.

🍂

Tadi pagi sebelum subuh, aku masih bergelut dengan selimut ketika terbangun oleh sesuatu yang menyerang wajahku, sesuatu yang kenyal dan mendarat di mana-mana. Kecupan Ibrahim rupanya.

Rutinitas pagi hari yang mulai pria itu terapkan sejak kami tinggal bersama. Itu adalah sarapan, biar semangat kerja katanya. Lalu tiba-tiba pria besar itu menggeser tubuhnya ke dalam pelukanku, menenggelamkan wajahnya di dadaku dengan tangan melingkar penuh di pinggangku.

Untuk pertama kalinya kudengar Ibrahim melenguh dan tiba-tiba merengek dengan suara serak bangun tidurnya. "Saya boleh minta tolong gak? Hari ini teman-teman saya mau datang ke rumah, makan siang di rumah, sekalian mau kenalan sama kamu. Boleh gak?"

"Tiba-tiba?" tanyaku, Ibrahim mendongak.

"Saya lupa bilang. Sebenarnya rencananya udah dari kemarin, maaf. Hehe."

Tanganku yang bebas tidak mau diam, bergerak menenggelamkan jariku diantara sela rambut Ibrahim.

"Aku sih boleh-boleh aja, nanti bisa minta tolong Bibi bantu nyiapin semuanya. Tapi.."

Wajah Ibrahim langsung terangkat, mensejajarkannya dengan wajahku, "Tapi kenapa?"

Aku menggeleng, urung bicara. "Gak papa. Yaudah, nanti aku bilang ke Bibi–"

"Hei.. Tapi kenapa, sayang?"

Aduh. Gimana gak luluh.

"Gak papa cuma.. Aku kok agak, sedikit, insecure mau ketemu teman-teman kamu ya, Mas?" Suaraku mencicit.

Jujur saja. Hari itu di resepsi pernikahan ketika teman-teman Ibrahim menyapa, aku tidak begitu percaya diri berdiri bersisian dengan Ibrahim. Bahkan hari itu aku mendengar beberapa diantara mereka bilang, 'Lo hebat, Bram!" Seolah memuji Ibrahim karena berani menikahi perempuan buta.

"Insecure? Kamu cantik gini, kok insecure?"

"Mas.."

"Dengar saya!" Ibrahim merapatkan pelukan, "Kamu cantik. Kamu sangat cantik. Kamu sempurna, kamu lebih dari apa yang saya minta ke Allah. Kamu itu melengkapi saya, kamu yang terbaik buat saya–"

"Mas udah, udah. Udah ya."

Tangan kiriku membekap mulut Ibrahim, menghentikan kalimat-kalimat penuh sihirnya sebelum keluar semua. Ini masih terlalu pagi untuk meleleh di tempat tidur.

"Jadi lebih penting pendapat saya atau orang lain?"

Tentu saja, Ibrahim akan selalu menang.

"Mm.. Pendapat Allah sih, Mas."

Harusnya aku diam saja, tidak perlu macam-macam. Karena selanjutnya Ibrahim mengurungku di bawah tubuhnya, menghujaniku dengan ciuman sambil menggelitik perutku sampai aku kewalahan dan beneran hampir ngompol.

"Lebarin lagi senyum lo, Ji. Sampai pegel tuh pipi."

Aku terkesiap oleh senggolan Nabila di bahuku. Baru sadar kalau sekarang aku, Nabila dan Bibi berada di dapur setelah hampir kerasukan pikiranku sendiri.

Aku berdeham gelagapan. Percaya deh! Aku beneran bisa kepikiran Ibrahim kepan saja.

"Kenapa, Bil?" Aku menurunkan tangan yang sedari tadi menopang dagu.

"Kinipi, Bil." Ejek Nabila dengan suara paling menyebalkan.

Aku mengerucutkan bibir, "Apa sih? Ya lo yang ngelarang gue bantu, sekarang marah gue beneran duduk doang."

d'voiceWhere stories live. Discover now