d'voice - 17

40 8 2
                                    

"Di samping saya!"

Aku tersenyum sambil duduk pada kursi yang Ibrahim tarik untukku. Aku senang bukan main ketika akhirnya bisa kembali berkumpul di meja makan bersama kedua orangtuaku, dengan Ibrahim di sampingku dan Papa memimpin doa sebelum mulai makan.

Seperti kebiasaan keluarga ini, meja makan tidak dibiarkan sunyi hanya dengan denting sendok dan piring selama aktivitas makan berlangsung. Pembahasan kali ini tidak jauh-jauh dari menggodaku dan Ibrahim, dan berakhir obrolan bisnis antara Papa dan Ibrahim yang mana ini berlangsung hingga ke teras depan rumah dengan secangkir kopi membersamai obrolan keduanya.

Sementara aku dan Mama berakhir di sofa ruang keluarga, aku berbaring dibawah pangku nyamannya sedang jemarinya sibuk mengelus sela rambutku dengan lembut. Perlakuan yang selalu berhasil membawaku pada titik terbaik yang kusyukuri menjadi orang beruntung memiliki Mama dalam hidup. 

"Mah!" 

"Hm?"

"Jia mau nanya sesuatu, tapi gak mau Mama langsung nyimpulin apalagi berpikiran negatif, boleh?"

"Hm... Oke."

Aku menarik napas dalam sebelum mulai bicara, "Selama nikah, Mama pernah gak kecewa sama Papa, atau sebaliknya?"

"Pernah lah!"

"Terus gimana?"

"Maksudnya?"

Elusan tangan Mama sudah berhenti, "Ya gimana, Mama dikecewain tuh terus ngapain? Maksudnya, terus Mama gimana nanggepinnya, eh gimana sih? maksudnya tuh-"

"Terus kenapa masih bertahan?"

Aku sekali sentak membawa diriku duduk di sebelah Mama, menghadap padanya "Nah! Itu maksudku!" Lalu nyengir kuda.

"Karena tujuan nikahnya bukan buat berpisah."

Keningku jelas langsung berkerut. "Maksudnya gimana?"

"Ya gitu!"

"Ih Mah! Emang ada orang yang nikah tujuannya buat pisah?"

"Bisa aja ada, gak ada yang tahu. Tapi kalau kamu nanya kenapa walaupun pernah kecewa Mama sama Papa tetap bertahan, ya karena kami bukan salah satu pasangan yang tujuan nikahnya buat pisah."

"Tapi kan udah di kecewain?"

"Kecewanya gak lebih besar dari tujuan menikahnya, Ji. Bahkan kalau pun lebih besar, harus selalu ingat, pisah. bukan. tujuannya."

Aku diam bukan karena tidak mengerti, hanya kepalaku benar-benar sulit menerima pola pikir Mama tentang bagaimana dia akhirnya bertahan walaupun pernah kecewa.

"Tapi kecewa itu wajar. Manusia kan? Memang tempatnya ketidaksempurnaan. Jadi kecewa itu boleh aja." Sambung Mama,

"Tapi sekecewa apapun, harus selalu cari jalan untuk bertahan, begitu?"

Jemari Mama membawa helai rambutku ke belakang telinga.

"Lebih tepatnya, selalu cari cara agar ikhlas dan sabar. Ikhlas dan sabar kalau pasangan kita akan selalu ada kurangnya. Dan jangan lupa refleksi diri. Manusia kan?"

Aku diam, menatap lurus pada arah dimana kuyakini itu adalah mata Mama. Lalu isi kepalaku berputar untuk bisa mencerna.

Manusia kan? Jadi wajar.

Refleksi diri, karena sendirinya juga manusia.

Aku tersenyum, kembali merebah diatas pangku Mama dengan kepala yang lebih jernih dan hati yang lebih ringan. Karena baru saja menyadari bahwa wajar saja aku merasa kecewa pada apa yang terjadi denganku dan Ibrahim sebelumnya, dia hanya manusia yang berpikir bahwa kami mungkin belum siap sedang aku hanya manusia yang sudah amat percaya dan jatuh hingga siap untuknya. Wajar saja, kami hanya manusia yang bisa berbeda berpendapat.

d'voiceDonde viven las historias. Descúbrelo ahora