d'voice - 9

61 7 4
                                    

"Non!"

Aku menerima uluran tangan Bibi untuk membantuku keluar dari mobil. Kami berdiri menghadap pada satu arah yang tidak bisa kutebak kemana, tapi aku bisa merasakan sebuah bangunan berdiri menjulang di depan kami.

Ku dekatkan diriku pada Bibi untuk bertanya padanya.

"Rumahnya gimana, Bi?"

"Luas, Non. Ini mah bukan rumah biasa aja. Ini mah rumah beneran non, rumah besar"

Aku berpikir, "Besar banget, Bi? Lebih besar dari rumah Papa, Mama?"

"Hmm.... Gak juga sih kayaknya, Non. Tapi yang ini teh luas, ada halaman depan, cantik juga, tapi banyak kacanya, non."

Dahi ku otomatis berkerut. Rumah gaya seperti apa kira-kira. Modern? Modern minimalis? Aku tidak bisa menebak.

"Warnanya gimana, Bi?"

"Keliatan sejuk, Non lebih banyak warna coklat sama Abu-abu. Tapi teh ini rumahnya lumayan tinggi, yah"

"Tinggi? Rumahnya bertingkat?"

"Iya non, dua apa tiga yah ini?"

Dua? Tiga? Aku mengatupkan bibir, sedikit gugup. Rumah terakhir yang kutinggali tidak bertingkat, otomatis tidak ada tangga. Tiba-tiba saja aku jadi ragu. Kehilangan kepercayaan diriku memikirkan tentang menaiki dan menuruni tangga, terakhir kali kulakukan aku hampir menyerah di hari pernikahanku.

"Ayo masuk!" Suara Ibrahim melewati kami.

Aku tersadar, lalu Bibi memegangi tanganku, menggandengku berjalan maju lalu melewati sebuah pintu dan sekarang aku merasa berdiri di tengah-tengah ruangan luas seolah-olah aku sangat kecil di dalamnya.

Perasaan kaku, asing dan ragu untuk bergerak. Aku sudah tidak di rumah.

Tempat ini asing bagiku, membuatku merasa mual saat menerka bagaimana bentuknya.

"Mas Ibram mana Bi?" Tanyaku pada Bibi yang masih setia menggandengku.

"Keatas, bawa barang-barang non Jia"

"Kamarnya diatas, Bi?"

"Kayaknya, Non"

Aku berdesis.

Lalu aku mendengar suara langkah keras menampar lantai, menuruni tangga.

"Bi Wirna. Ada dua kamar kosong, di bawah satu, di atas satu. Terserah Bibi mau dimana, yang penting Bibi nyaman."

"Diatas aja, Bi" Tawar ku.

"Nggak ah, Non. Bibi yang di bawah aja. Kamar yang bawah sebelah mana ya, Pak?"

"Ada di kanan, Bi. Itu keliatan kok pintunya."

"Oh iya. Yasudah, Pak. Bibi kamar yang itu saja"

"Anggap saja rumah sendiri, Bi. Dan soal pekerjaan, samakan saja seperti di Rumah mertua saya. Tapi mungkin untuk beberapa hal yang harus diperhatikan bisa kita bahas nanti saja, Bibi boleh istirahat dulu sekarang"

"Baik, pak. Saya permisi ke kamar. Kalau ada apa-apa, saya ada"

"Terima kasih banyak, Bi"

"Bi.." Aku merengek, menahan lengan Bibi.

"Gak papa, Non. Saya ada di kamar, yah."

"Tapi.."

"Kita ke kamar?" Tanya Ibrahim.

Aku bergeming, dan Bibi menjadikan itu kesempatan itu melengos pergi meninggalkanku.

"Aku.. Aku takut naik tangga" Aku jujur.

d'voiceWhere stories live. Discover now