d'voice - 29

43 10 2
                                    

Aku mencintaimu dan itu jauh lebih besar dari masalah.

🍂


Aku dan Bunda baru saja selesai menyapa beberapa tentangga depan rumah, membagikan kue buatan kami sekalian memperkenalkanku sebagai menantunya.

"Gimana?" Tanya Ibrahim begitu aku duduk di sampingnya di sofa ruang keluarga

"Sekarang tahu kenapa kamu suka pamerin aku sebagai istri, turunan sifat Bunda ternyata!"

"Hahaha, parahan Bunda kan?"

"Iya, aku dipamerin disemua tetangga."

"Biar mereka tahu secantik apa mantu Bunda." Ucap Ibrahim dan Bunda bersamaan.

Tadi benar-benar aku bukan hanya diperkenalkan, Bunda lebih seperti memamerkanku ke semua tetangga, memuji ku berlebihan tapi juga tidak berbohong. Dan kelakuan itu persis seperti Ibrahim.

Ibrahim meraih tanganku, menggenggamnya, menyatukan setiap sela jari kami, mengelus dengan ibu jarinya. "Kenapa?" Tanyaku,

"Kamu cantik."

"Apa sih Mas."

Aku tahu Ibrahim sedang menatap kepadaku, lalu tiba-tiba sebuah kecupan meluncur di keningku. Aku tahu Ibrahim memang bisa tiba-tiba bersikap manis tanpa ada aba-aba. Tapi aku tidak tahu bahwa dia juga bisa melakukan itu di depan kedua orangtuanya dan Aiman yang notabenenya masih dibawah umur.

"Mas.." cicitku menutup wajah.

"Ayah dan Bunda juga pernah muda, kenapa harus malu." Ucap Ayah, "Malah Kami senang melihat kalian saling menyayangi begini." Sambung Bunda.

"Tapi ada Aiman, Bun!"

"Ngikut mulu sih, dibilang bocil gak diajak" ucap Ibrahim.

"Abang yang gak tahu tempat, pamer."

"Kenapa? Mau juga? Makanya cepat gede."

"Mas.. udah ih." Tegurku.

Ujung-ujungnya hari ini berlalu dengan bahagia, seharian kami kumpul keluarga, membahas banyak hal, mulai dari bunda dan aku tentang rencana membuat bisnis kue yang otomatis langsung ku tolak dengan halus, obrolan Ayah dan Ibrahim yang tidak jauh-jauh dari urusan perusahaan, atau juga membahas perkembangan usaha pendonoran mata untukku.

Benar-benar walau ini pertama kalinya aku berkunjung ke rumah mertuaku tapi aku dibuat begitu nyaman bahkan aku tidak merasa jauh berbeda dari rumah Papa dan Mama.

Mulau dari perlakuan mereka yang hangat dan menyanyangiku apa adanya bahkan aku tidak diberi kesempatan merasa sungkan dan berkekurangan.

Seperti sekarang ketika malam hari tiba dan Bunda datang ke kamarku ketika aku kesulitan memasang seprai di tempat tidurku, Ibrahim masih ada di bawah, mengobrol dengan Ayah.

Bunda sigap langsung membantuku memasang, usai itu dia membawaku duduk di tepian tempat tidur, seperti kebiasaan ketika Mama melakukan ini aku akan segera berbaring dengan kepalaku di pangkuannya sedang Bunda juga langsung mengelus rambutku.

"Anak Bunda.." Bunda menjatuhkan kecup panjang di keningku.

Aku menikmati perlakuan kasih sayang itu.

"Bunda mau tanya sesuatu, boleh?"

"Gak perlu minta izin Bunda."

"Kamu bahagia kan nak sama Ibrahim?"

Aku menutup mata, menghelah napas lalu tersenyum. "Bahagia sekali..." ucapku lemah, seolah bagiku tidak lagi mampu menjelaskan bahwa itu benar.

"Ibrahim baik kan sama kamu?"

d'voiceWhere stories live. Discover now