BAB 1

958 68 26
                                    

Sudahkah pantas?
Sudahkah bisa dijadikan teladan?
Apakah sudah mendidik dengan benar?

Pikiran-pikiran itu sering saja menghantui. Ada perasaan insecure, merasa tidak pantas menyandang gelar sebagai guru.
Ada satu waktu, rasanya ingin menyerah dan mencari profesi lain, profesi yang tidak terlalu terbelenggu dengan moral. Bukan, bukan berarti tidak bermoral, hanya saja terkadang jiwa muda yang sering meledak-ledak membuat terlena dan lupa.

Pagi ini seperti biasa, Vidia berangkat kerja. Jarak antara rumah dan tempat mengajar cukup jauh, sekitar 15 sampai 20 menit jika kecepatan berkendara sekitar 60 km/jam.

"Untung tidak terlambat." Gumamnya saat sampai di halaman sekolah. Ia membuka helm bogonya dan mencantolkan di spion motor. Tidak lupa mengecek tampilan sebelum memasuki ruang kantor.

"Selamat pagi!" Sapanya pada beberapa rekan yang lebih dulu datang.

"Tumben pagi. Ada jam pertama kah?"

"Iya." Jawabnya seraya membersihkan debu yang sedikit menebal akibat libur sekolah yang lumayan panjang.

"Kamu tetap menjadi wali kelas XI IPS kan, Bu?" Tanya salah satu rekan setelah mendudukkan diri di kursi depan.

"Iya, semoga mereka tidak terlalu nakal dan mudah diajak kerjasama."

"Iya, semoga lebih baik dari tahun sebelumnya." Mengakhiri kata dengan senyuman.

"Ya, semoga saja."

Bukan sebuah rahasia, entah bagaimana kelas IPS selalu dicap sebagai kelas untuk anak nakal. Selalu ada saja hal-hal buruk yang mereka lakukan, dari mulai berpakaian tidak rapi sampai melakukan tindakan asusila, rasanya sungguh lelah membuat mereka sadar dan berubah. Kenapa juga selalu Vidia yang ditunjuk sebagai wali kelasnya? Mengapa tidak di kelas unggulan saja?

Vidia menghela napas sebelum duduk dan mengecek handphonenya. Sebuah senyuman terukir setelah membaca pesan.

My Destiny💜

Selamat pagi, Sayang. Semangat kerja ya?

Me

Ya, kamu juga. Jangan lupa sarapan.

My Destiny💜

Ya, kamu juga 😊

Hanya percakapan singkat.  Tapi entah mengapa membuat perasaan semangat meningkat.

Ngomong-ngomong soal dia, namanya Ian Putra Mahendra. Dia dan Vidia bertunangan sekitar enam bulan lalu.  Rencana pernikahan sudah dirancang, tinggal menunggu waktunya saja.

"Kok senyum-senyum? Masih pagi lho ini."

Vi menaruh handphonenya dan tersenyum.

"Hanya membaca pesan saja kok. Kebetulan ada yang lucu." Bohongnya.

"Dari tunangannya ya?"

"Iya."

"Ngomong-ngomong kapan nikah?"

"Sekitar 3 bulan lagi."

"Semoga berjalan lancar ya?"

"Iya, Bu. Terima kasih."

Bel sekolah menjadi akhir percakapan antara kedunya. Vi bersiap memasuki kelas untuk membentuk pengurus kelas dan menyampaikan hal-hal penting seperti jadwal pelajaran dan kesepakatan tentang peraturan kelas.

VIDIA [KV GS]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن