Bab 36 : Masih marah?

170 7 0
                                    

Satu Minggu berlalu sejak hari dimana ia di operasi, dan ini hari kedua Jia bersekolah. Seperti biasa gadis itu belajar, menghabiskan waktu istirahat dengan Karin, Nadine, disekolah dengan tenang.

Berbohong jika ia sakit satu Minggu ini, padahal ada tugas yang harus ia laksanakan. Kembali semula, karena Jia yakin mau nangis darah pun tak ada sosok yang ada di sampingnya.

"Jadi, Lea beneran keluar Kar?"

"Gak balik lagi?"

Jia masih bertanya, merasa tak adil dengan pihak sekolah, apa tidak ada toleransi lagi untuk gadis itu? Mendengar itu Karin menggeleng disela gadis itu meminum jus jeruknya.

"Enggak Ji, dia udah keluar"

"Lo tau Ji? Pas lo gak masuk, gue nodong dia pertanyaan. Tapi dia diem aja terus"

Nadine mengangguk, gadis itu melirik ke arah Jia. Tepat di sampingnya. "Dia gak mau cerita, katanya males, padahal Karin mati matian lo bilang ke kepala sekolah kalo itu pasti fitnah"

"Ya, mau gimana lagi? Mungkin itu yang terbaik buat dia"

Jia hanya bisa menatap sedih, cukup menyedihkan baginya apa yang di timpa Lea. Jia juga menyadari akhir-akhir ini Red tidak menghubungi nya seperti dulu.

Pikirannya bertanya-tanya, apakah ada yang salah darinya? Hingga laki-laki itu seperti tak lagi berkontak dengannya. Bertahan hidup dengan satu paru-paru membuat Jia sedikit menyiksa karena mungkin belum terbiasa.

Kadang ia lebih cepat merasa lelah, dan nafasnya terlalu cepat capek. Hidupnya ternyata masih seperti dulu, kedua orangtuanya masih memperlakukannya semena-mena seperti itu, Jia pikir orangtuanya akan sedikit menaruh perhatian untuknya, ternyata tidak.

Apakah ia salah membaca cerita fiksi indah itu? Dimana ada seorang anak yang berjuang dan sering disakitin akan mendapat kebahagiaan di akhir cerita, atau malah menunggu 'seseorang itu mati untuk mendapatkan kebahagiaan dimana orang-orang menangisinya dan menyesal?'

Jia menggelengkan kepala, ia tidak ingin memperkeruh suasana hati dan pikirannya, bisa-bisa ia gila dan masuk RSJ.

"Kar" setelah berargumen lama dalam diamnya, akhirnya Jia memberanikan dirinya untuk bertanya suatu hal.

"Iya, kenapa?"

Karin yang membereskan beberapa piringnya dan yang lainnya itu, menoleh pada gadis yang masih menunduk di kursinya.

Nadine sudah tidak ada di tempat, gadis itu ternyata ngacir di stand siomay untuk dibungkus dan dibawa ke kelas nanti.

"Kami tau gak, Red kemana? Sejak pagi aku kok gak liat dia?"

"Oh, pacar lo?" Karin menjawab dengan nada menggoda dan menoel dagu Jia.

"Kayaknya ke warung belakang deh Ji, tadi gue liat antek-antek si kesana. Coba tanya Anjun aja"

"Soalnya, gue juga gak liat Red juga dari tadi"

"Mau gue anter?"

"Oh gausah, makasih ya Kar" Jia bangkit dengan senyum tulus dan terimakasih seraya memegang lengan Karin.

"Gausah, biar gue aja" Jia yang ingin menarik tiga piring itu untuk ia bawa ke tempat piring kotor itu langsung di sela oleh Karin.

"Sana pergi aja, mumpung jam istirahat nya masih lama"

"Beneran? Gapapa?"

"Udah lah cepet!" Karin menyuruh Jia untuk segera pergi dengan dagunya.

••

"Red, tumben nih keluyuran di mari"

"Lo 'kan agak anak baik, gak bolos bolos club. Ehe"

Radian berceletuk dengan nada bercanda seraya mengambil sate telur puyuh nya, laki-laki duduk di samping Arkhava yang sibuk bermain gadgetnya dengan mode landscape, bermain game dengan tenang.

"Lagi pengen" jawab nya singkat.

Red palsu masih bertukar peran dengan Re, mereka berdua sepakat untuk menyembunyikan nama mereka masing masing saat berada di ruang lingkup sekolah, padahal Red asli tidak menyukainya dan menolak.

Namun Re masih ingin menjalankan kehidupan sekolahnya dengan tenang, dan tak ingin membuat teman-teman nya pusing dan termasuk Jia, ia akan memikirkan matang-matang agar bagaimana ia menjelaskan nantinya.

Red asli tidak masuk sekolah beberapa kali, entah kenapa. Namun Re tak memusingkannya, karena jika tidak ada Red, ia tidak akan bermasalah disekolah nya. Dan berhenti adu jotos ataupun beradu argumentasi terus menerus.

"Red! Tu Jia dateng"

Anjun menunjuk dengan dagunya, sosok gadis yang menoleh ke kanan dan kiri, untuk memastikan jalanan sepi dan tak ada kendaraan. Dan menyebrangi warung di sebrang, tempat mereka berada.

Red palsu menoleh, senyumannya seketika luntur, ingatannya kembali ke belakang. 'Dimana Red juga menyukai jia', padahal yang menjadi pacarnya dan menembak gadis itu adalah dirinya.

Re bangkit,  berjalan ke luar dan menunggu gadis itu di depan warung yang mereka singgahi hampir sejam lebih itu.

"Red!"

"Kamu masih marah sama aku? Aku gatau salah aku apa, tapi aku minta maaf ya?"

Jia memohon dengan menangkup kedua tangannya di depan Re, rasa bersalah dan permintaan maaf tulus itu menggetar kan hati Re dan tersalurkan dalam senyuman tulus, dan dijalankan oleh tangannya yang mengusap lembut rambut kepala gadis itu.

"Gue masih marah, tapi gak mau marahan lama lama"

"Gue juga minta maaf, udah bikin rambut lo makin pendek minggu lalu" Re melihat ujung rambut Jia yang sedikit pendek, mungkin gadis itu memotongnya agar panjangnya sama.

"Gak papa kok" lagi-lagi senyum itu mengembang.

Re langsung memeluk tubuh Jia seraya mengelusi kepalanya dengan lembut, menghirup aroma vanilla gadis itu. Rasa sedih dan ingin mengambil lebih langsung merasuki jiwa nya, Re tidak boleh membiarkan Red mengambil gadisnya, bagaimanapun juga Jia miliknya, dari ujung kaki sampai ujung rambutnya Jiandra Naomi adalah milik seorang Re Fernando Benedict.

"Re? Kamu kenapa? Aku.... sesek"

"Oh, maaf" cicit-an dari Jia membuyarkan lamunan Re yang menekan tubuh Jia dengannya, gadis itu terengah dan nampak menghirup udara banyak banyak.

Anjun, Radian bahkan Arkhava yang mem-pause game nya sebentar untuk melihat interaksi mereka. "Pagi pagi udah sepet ni mata liat orang bucin" sindir Anjun di sela-sela ia memakan nasi goreng nya.

"Makanya cari pacar sono, gak laku ya lo? Mau gue obral ke temen cewek gue gak Anj?"

Anjum melirik Radian dengan tatapan intimidasi. "Lo bisa gak manggil gue Jun? Kayak Arka!?” sengitnya ingin memukul kepala cowok itu.

Radian cengengesan dengan protesnya Anjun. "Lo malah kayak misuh ke gue, manggil Anjun apa Jun kek, manggil kok Anj? Sialan lo!"

"Habisnya nama lo bingungin orang sih" opininya yang merasa benar, tak ingin di sangkal maupun di salahkan.

"Bagusan manggil lo Anj, kalo mau misuh in preman tinggal 'maaf bang' . Nama temen gue aneh, masak Anj ing" Radian mengecilkan volume suaranya di bagian Anj ing, walaupun begitu Anjun masih tetap dengar dengan raut wajah masam.

"Jadi ada alasan gitu Jun"

"Halah bacot, padune ra wani"

••

"Ini muka kamu kenapa?"

"Kenapa dari seminggu lalu lo gak masuk?"

Jari Jia yang meraba luka di pipi laki-laki itu lantas terhenti, matanya menyorot polos dengan raut wajahnya yang terkesan dibuat oleh sang empu. Membuat Re terkekeh salting dan membawa telapak tangan itu ke bibirnya dan menciumi nya.

"Aku, cuma sakit demam kok"

••

Uwah, 1071 word

RED FLAG [TAMAT]Where stories live. Discover now