Bab 40 : Rest in peace (R)

208 9 0
                                    

Pintu IGD yang sudah tertutup tiga puluh menit yang lalu dengan triase warna merah, menunjukkan bahwa pasien dalam keadaan kritis, dan harus segera di tangani.

Tak ada yang mengeluarkan suara sama sekali, semuanya diam dengan pikiran yang berkecamuk sejak tadi.

Sesekali Soraya melirik ruang operasi itu, dengan harap-harap cemas untuk keberlangsungan hidup dua putranya di sana.

Matanya yang tadinya penuh air mata, kini sudah mengering dengan kering, hanya menyisakan jejak di sana. Wajahnya pucat ia hanya bisa berdoa saja, sedangkan sang suami terus mencoba bertahan dan menguatkan sang istrinya.

Pintu terbuka, seorang dokter yang masih menggunakan baju lengkap operasi itu berjalan seraya membuka kedua sarung tangan nya secara bergantian.

"Apa lancar? Kenapa operasi nya cepat sekali?"

"Kedua putra ku baik baik saja 'kan dok?" Kedua bola mata itu berharap cemas, bibirnya berkata dengan gemetar mencoba menepis hal-hal buruk.

"Kenapa menampilkan wajah seperti itu?"

"Dok! Ke dua anak saya selamat 'kan?"

"Dok, kenapa diam saja?"

Soraya meninggikan suaranya satu oktaf, sudah tak sabar dengan penuturan sang dokter yang menangani kedua putra nya.

"Sebenarnya kami minta...."

"Jangan ucapin hal-hal aneh!" teriaknya dengan air mata yang penuh, dan menumpuk yang susah patah dibendungnya.

"Bun, tenang lah. Dokter mau nyampein sesuatu" Liam mencoba menenangkan istrinya, melihat Soraya yang sudah kalut hingga bahunya naik turun menahan tangis.

"Mana bisa tenang! Kedua anakku disana!"

Jeritan Soraya kian melengking dan menyayat nan lirih, sambil melihat dan menunjuk-nunjuk ruangan itu, ingin sekali masuk. Namun, suaminya menahannya.

Dokter itu menghela nafas panjang, keputusan sudah bulat.

"Sepertinya saya hanya bisa menyelamatkan salah satunya"

"SALAH SATU APANYA!?"

"ANDA KAN DOKTER, MAU BIAYA BERAPA? SAYA BAYAR HINGGA MILYARAN SAYA TAK PEDULI!"

Soraya kembali berteriak, belum sempat menjelaskan semuanya, dokter itu menunduk. Merasa bersalah, padahal ini sudah diluar kehendaknya, ia hanya bisa melakukannya semaksimal mungkin. Hanya Tuhan yang bisa menentukannya, dokter hanya perantara biasa.

"Tenang lah Bunda, kita dengar penuturan dokter dulu"

Liam memeluk istrinya dengan mengelus rambut nya, mencoba untuk memahami situasi ini, dan berusaha tegar. Ia mencoba untuk menenangkan dengan ucapan-ucapan nya.

"Kamu duduk dan tenangin dulu ya, Al tenangin bunda dulu"

Alvarezo membalas pelukan erat ibunya, laki-laki dewasa itu mencoba menenangkan ibunya yang stres dan sedih. "Al, adek kamu bakal baik baik saja 'kan? Ya kan?"

"Iya kok, bunda tenang aja, mereka bakal selamat. Bunda jangan banyak nangis ya, itu gak baik"

Melihat istrinya sudah sedikit tenang, dengan putra sulungnya, membuat Liam sedikit ada celah untuk berbicara dengan sang dokter.

"Kedua putra anda mengalami luka yang sangat parah, yang satu dengan cedera parah di belakang kepalanya. Yang mengakibatkan pembengkakan dan pendarahan pada otak, karena terjadi menekankan pada batang otak sehingga merusak bagian otak yang berfungsi untuk mengatur kesadaran.

"Mungkin pasien terkena seperti benda tumpul terus menerus yang menekan bagian belakang dan di beberapa kepalanya. Karena cederanya cukup parah, hingga mengalami pendarahan didalam sana"

RED FLAG [TAMAT]Where stories live. Discover now