Prolog

6K 319 7
                                    

Kata orang, kita bisa menyelesaikan masalah hidup dengan menikah.

Punya penyimpangan seksual? Menikah solusinya.

Pusing dengan kuliah dan skripsi? Menikah solusinya.

Tak dapat-dapat pekerjaan? Maka menikah pula lah yang menjadi solusi.

Kesulitan finansial? Menikah juga solusinya. Katanya rejeki ada yang atur.

Lah, dikira menikah hanya modal ijab kabul saja apa? Apakah orang-orang yang menjadikan menikah sebagai solusi itu tak memikirkan bayar listrik, air, KPR rumah dan segala tetek bengeknya yang tak bisa kujabarkan satu-satu.

Aku baru umur 25 tahun. Namun ibuku sudah kelojotan mencari kesana-kemari jodoh untukku bagaikan aku ini tidak laku-laku. Aku bukannya tidak laku-laku, namun aku belum menemukan pria yang cocok dengan diriku.

Menemukan pasangan yang cocok untuk selamanya adalah pekerjaan paling sulit bukan? Bagai menemukan jarum ditumpukan jerami. Lebih banyak sulitnya daripada gampangnya.

Tentunya aku tidak bisa asal comot cowok di jalanan bukan? Walaupun katanya aku tidak laku-laku, namun sebagai wanita dewasa aku memiliki kriteria sendiri dalam mencari jodoh.

Kriteriaku adalah cowok tampan, mapan, anak tunggal kaya raya. Haha. Cowok semacam itu hanya dapat kutemukan melalui jalur novel fiksi saja.

"Rin, ibu mau mengenalkan seseorang. Ibu harap kamu tidak akan menolaknya lagi." Ibuku, wanita paruh baya yang tengah gencar-gencarnya mengenalkan ku dengan kenalan A dan kenalan B, anak ibu A dan anak ibu B.

"Bu, sudahlah! Arini belum ingin menikah. Aku ingin fokus pada karirku saja." Aku mulai malas dengan tingkah ibu yang semangat menjodohkanku dengan semua pria yang ia temui.

"Karir apaan sih Rin? Kamu ini kerjanya cuman di kamar doang. Nulis-nulis novel nggak jelas. Gak ada masa depannya!" Ibu memanglah orang nomor satu yang melarangku untuk melanjutkan hobi menulis ku. Bahkan ia sebenarnya tak setuju dan melarang keras aku untuk kuliah di jurusan Sastra. Ia beranggapan bahwa lulusan sastra itu tidak punya masa depan cerah tidak seperti mbak-mbak PNS yang memakai seragam.

"Ada masa depannya, Bu. Ibu nggak tahu Tere Liye, Andrea Hirata, Agatha Christie, mereka itu penulis terkenal yang bayarannya nggak kaleng-kaleng." Aku mencoba untuk mengubah stereotipe ibuku tentang dunia sastra itu.

"Tapi kan itu cuman segelintir orang aja Rin. Ibu nggak yakin kamu bisa terkenal kayak mereka."

Apa kalian semua tahu? Orang yang pertama kali menghancurkan mimpi dan harapanku adalah ibuku sendiri. Ia yang selalu pesimis dengan hobi menulisku dan pilihanku untuk masuk jurusan Sastra membuatku tidak yakin dengan jalan hidup yang kupilih.

Kenapa ibu selalu menentang impianku?

Aku selalu bertanya-tanya tentangnya dan sialnya pertanyaan itu hanya bisa kupendam dalam hati saja.

"Ibu bisa nggak sih dukung aku sekali saja?" Aku mulai mengiba. Mataku mulai berkaca-kaca mengingat tak ada satupun orang yang mendukung hobi dan impianku selain ayah yang malangnya sudah berpulang ke pangkuan Tuhan.

Ibu terdiam. Ia sepertinya merasakan keputusasaanku yang entah sudah berapa kali aku rasakan.

"Bisakah ibu percaya padaku sekali saja dan tak memaksa kehendak ibu?" Setelah mengatakan itu, aku berlalu pergi menuju ke kamarku. Air mata yang sudah kutahan sedari tadi tumpah semua ketika aku masuk ke kamarku.

"Sial! Sial! Sial!" Aku memukul-mukul bantal untuk melampiaskan emosi. Maaf bantal, tapi sekarang aku butuh sesuatu untuk menyalurkan emosiku yang rasa-rasanya ingin meledak dan berubah menjadi Iron Man.

ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang