Episode 13

1.6K 184 1
                                    

Kita balik lagi ke PoV Yara ya..

Happy reading^^

******

Kami asik berbelanja di kota hingga tak sadar matahari sudah hampir terbenam. Ralat --Annabella yang asik berbelanja, sedangkan aku hanya membeli beberapa alat tulis yang akan kugunakan untuk kegiatan tulis menulis.

Apa kalian pikir aku akan menyerah pada hobi menulisku?

Oh, tentu tidak kawan.

Namun kini aku hanya akan melakukannya sebagai hobi saja. Kalau ada perusahaan penerbit atau apapun sebutannya disini menggaet tulisanku sih aku mah rela-rela saja asal kontraknya jelas.

Kami pulang ke istana dengan menaiki gerobak. Yap, benar gerobak! Gerobak disini seperti alat transportasi umum bagi kaum rakyat jelata seperti diriku ini. Mau naik kereta kuda? Oh tentu ongkosnya mahal sekali kawan. Bisa membiayai hidup rakyat jelata selama satu minggu.

Kami --Annabella dan aku menunjukkan semacam tanda pengenal kami pada para prajurit yang berjaga di depan gerbang istana. Istana kerajaan tentunya dijaga ketat oleh para prajurit. Pokoknya di segala sisi, aku pasti bisa melihat prajurit sedang berpatroli atau berjaga di pos-pos mereka masing-masing.

Dua prajurit bertubuh kekar dan tentunya tampan itu mengangguk lalu mempersilahkan kami untuk memasuki area istana. Saking luasnya, kami harus berjalan sekitar dua puluh menit untuk sampai di Istana Rubi tempat kami bekerja.

Gila! Ini sangat melelahkan!

Setelah berjalan-jalan di kota, kini kami harus berjalan pula menuju Istana Rubi. Apa di dunia ini tak ada becak gitu? Atau minimal sepeda listrik.

Aku mengutuk diriku. Kenapa aku tidak menciptakan dunia novel yang lebih modern? Jika tahu aku bakal merasuki salah satu tokoh novel ciptaanku, setidaknya aku akan membuat segala hal menjadi mudah. Aku mungkin saja akan menggambarkan semua orang memiliki sayap dan bisa terbang disini.

Saat aku baru saja melangkahkan kaki di Istana Rubi, Agnes --seorang pelayan magang yang termasuk sering bertegur sapa denganku itu menghampiri kami dengan langkah yang tergesa-gesa.

"Yara!"

"Akhirnya kau pulang juga!"

Gadis itu seperti habis berlari maraton saja. Ia terlihat terengah-engah dengan napas yang berhembus cepat. Apa yang terjadi? Apa aku baru saja melewatkan sesuatu?

"Tenanglah!" Aku memandu gadis itu untuk mengatur napasnya. Hirup napas, lalu hembuskan. Begitu seterusnya hingga kupikir gadis itu mulai tenang.

"Ada apa Agnes?" Aku kembali bertanya dengan nada lembut. Kalau aku bertanya dengan terburu-buru, bisa-bisa dia malah jadi panik lagi.

"Pangeran Edgar..." Agnes menggantungkan kalimatnya. Ada apa dengannya? Apa dia membunuh seseorang?

"Ada apa dengan beliau?" Aku kembali bertanya. Digantung gini kan nggak enak. Tentunya rasa kepoku sudah melambung tinggi seperti harga beras yang akhir-akhir ini ikut melambung naik. Oke, aku sudah kelewat topik.

"Dia mengamuk dan menolak makan." Lanjut Agnes.

Jadi pria itu mengamuk dan menolak makan?

Apa dia itu sebenarnya bocah tantrum yang tak mau makan siang?

"Dia tidak membunuh orang kan?"

Hanya satu pertanyaan itu yang keluar spontan dari bibirku. Ups! Mulutku kelepasan lagi!

Agnes menggeleng sedangkan aku bernapas lega. Kalau sampai dia membunuh orang, kupikir aku akan langsung mengundurkan diri saja. Aku tak ingin menjadi samsak amukannya.

ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang