Episode 1

4K 244 3
                                    

Aku ingat sekali bagaimana rasanya sekarat itu. Tubuh yang kala itu kehilangan arah, ditabrak keras oleh truk yang melaju secara ugal-ugalan.

Apa aku sudah mati?

Apa aku sudah mencapai akhirat?

Mengingat segala kesalahanku di masa hidup, aku tak begitu yakin jika surga akan menjadi destinasi terakhirku.

Bukankah neraka akan lebih cocok menjadi tempat anak durhaka seperti diriku?

Seperti kata orang bijak, penyesalan akan selalu datang terakhir, kalau datang di awal itu namanya pendaftaran. Aku tentu ingat bagaimana kata-kata terakhir yang kuucapkan pada ibu setelah mendengar rahasia tentang penyakitnya itu.

Aku menyesal. Sungguh aku menyesal setengah mati. Seharusnya aku tak berteriak padanya, aku harusnya datang memeluknya dan menguatkan dirinya. Apa aku ini termasuk anak durhaka yang tak tahu diuntung? Ku yakin banyak orang berpendapat seperti itu.

Perlahan kucoba untuk membuka mata. Bukannya malaikat yang kulihat atau kobaran api neraka yang siap melahap tubuhku, aku malah mendapati diriku tengah berbaring di sebuah ruangan yang terlihat sederhana. Temboknya bukan terbuat dari semen yang dicat dengan warna-warna cantik, tembok tempatku berada kini hanya terbuat dari kayu. Benar-benar sangat sederhana bahkan di ruangan yang kelihatannya seperti kamar, aku hanya melihat beberapa perabotan yang juga sederhana. Hanya ada meja rias, satu buah lemari dan tempat tidur. Benar hanya itu.

"Dimana aku?"

"Apa aku sudah sampai akhirat?" Aku bertanya pada diriku sendiri.

"Tapi ini bukan seperti akhirat yang kupelajari di buku agama!" Aku berseru pada diriku sendiri, memikirkan dimana gerangan diriku berada.

Ditengah kebingunganku, atensiku malah tertuju pada pintu kamar yang dibuka dengan cara agak kasar.

Disana berdiri seorang wanita yang kuperkirakan berusia pertengahan tiga puluhan dengan baju dress sederhana berwarna coklat tanah.

Dan wanita itu mirip sekali dengan...

Ibuku .

Benar. Wanita itu benar-benar terlihat seperti ibuku. Namun bedanya wanita itu memiliki rambut berwarna coklat cerah sementara ibu memiliki rambut hitam khas orang Indonesia. Lalu wanita yang mirip ibuku ini terlihat sepuluh tahun lebih muda daripada ibuku yang asli.

Apa aku sedang bermimpi?

"Ibu?!" Aku langsung tersenyum girang tatkala mendapati wanita yang mirip dengan ibu. Lantas tanpa pikir panjang, aku pun langsung bergerak untuk memeluk wanita itu.

"Ibu kok ibu kelihatan lebih muda sih? Ibu pakai skincare apa supaya kelihatan muda seperti ini? Apa ibu mengecat rambut ibu?" Aku mulai mengoceh tak karuan dan entah mengapa perasaan rindu menjalar di dalam hatiku. Rasa-rasanya aku tidak ingin melepaskan pelukanku.

"Arini janji bakal jadi anak yang berbakti. Arini juga janji bakal nurut sama ibu. Kalau ibu menjodohkanku dengan pria tua buncit pun, Arini bakalan nurut!" Aku mengatakannya dengan penuh keyakinan dan tekad.

"Kamu ini kenapa sih? Arini itu siapa? Kok kamu jadi aneh seperti ini?" Wanita yang mirip ibu itu memandangku dengan tatapan penuh tanda tanya. Dengan berat, aku pun melepaskan pelukanku.

"Ibu, masa ibu lupa sama anak sendiri? Namaku itu Arini, Bu. Masa ibu lupa sih?" Aku tertawa hambar dan mengamati ekspresi wanita yang mirip ibuku itu yang kini menunjukkan ekspresi kebingungan.

"Yara, apa demam tinggi membuatmu lupa ingatan?"

Kini aku yang mengernyit bingung.

Yara?

ImpossibleDonde viven las historias. Descúbrelo ahora