Episode 16

626 116 16
                                    

Author's PoV

Pangeran Edgar. Pasti kalian banyak mendengar tentang pangeran pertama yang satu ini. Pangeran yang terkesan kurang bersinar dibandingkan dengan adiknya, Pangeran Revan.

Pria itu kini memandang ke arah jendela, memandang langit senja dengan tatapan kosong. Di tangannya ia menggenggam sebuah amplop yang terdapat logo kerajaan, amplop yang berisikan undangan baginya untuk menghadiri pesta hari jadi kerajaan.

Ah, apakah ini saatnya bagi dirinya muncul di hadapan publik? Hanya satu kali setahun saja dia diizinkan untuk menampilkan wajahnya di hadapan publik, kapan lagi kalau bukan  pada hari jadi kerajaan.

Tentunya undangan ini bukanlah sesuatu yang ia tunggu-tunggu. Segala macam gunjingan selalu ia dengar ketika menghadiri pesta kerajaan. Entah orang-orang menganggapnya sebagai 'si bengis' atau sebagai Pangeran Iblis'. Walaupun statusnya yang tetap seorang pangeran, hal itu tak membuat para bangsawan mulut hina itu berhenti berbicara buruk tentang dirinya.

Raja Albert. Ialah raja yang paling dihormati diseluruh kerajaan. Raja yang sangat menegakkan hukum, raja yang amat bijaksana di mata para rakyatnya, namun sayangnya pria itu bukanlah ayah yang bijaksana di antara para anaknya.

Reputasi adalah hal yang paling penting bagi Raja Albert. Pria yang paling berkuasa itu tak ingin memunculkan rumor kalau ia 'mengasingkan' salah satu putranya di bangunan paling belakang di istana besar miliknya.  Walau tak terlihat jelas, namun Edgar yakin kalau ayahnya memang telah membuangnya dan tak lagi menyayanginya.

Edgar. Pria itu meremas amplop yang ia pegang hingga kusut dan tak terbentuk lagi.

Untuk apa ia menghadiri pesta itu?

Jika bukan karena pesan terakhir sang ibu untuk terus memintanya bertahan hidup di istana dan menjalani kewajibannya sebagai pangeran sih, Edgar ogah sekali untuk datang menghadiri pesta memuakkan itu.

Bukankah dia hanya perlu berdiri diam saja di ballroom tanpa membuat kegaduhan? Yah, walau ia memang harus menebalkan telinga untuk mendengar segala macam cemoohan dari para bangsawan yang membencinya.

'Tok'

'Tok'

'Tok'

Edgar terkesiap tatkala mendengar suara ketukan pintu itu. Pria yang tadinya menatap keluar jendela, kini menolehkan pandangannya ke arah pintu kamarnya.

Ah, apakah ini sudah saatnya makan malam?

"Pangeran, apa saya boleh masuk? Saya harus mengantarkan makan malam anda."

Suara itu. Suara gadis yang beberapa minggu ini memenuhi harinya. Awalnya pria itu hanya merasa penasaran dengan gadis pelayan itu hingga ia memutuskan untuk membuatnya mengantarkan makanan miliknya tiga kali sehari.

Gadis yang awalnya terlihat sangat ketakutan saat bertemu dengannya itu, kini malah berubah menjadi gadis cerewet yang tak henti-hentinya membicarakan apapun yang ia inginkan.

Tanpa diizinkan pun, gadis pelayan itu akan dengan senang hati membuka pintu kamar Edgar sembari mendorong trolley makanan yang kini telah terisi berbagai macam makanan lezat.

"Sore menjelang malam, Pangeran." Gadis pelayan itu tersneyum manis. Walau Edgar terkesan mengabaikannya, tapi melihat senyumnya entah mengapa membuat hati pria itu sedikit bergetar.

Ingat! Hanya sedikit!

Tak ada orang yang pernah tersenyum setulus ini untuknya. Edgar ini sangat pandai menilai orang lain, dengan sekali kedipan mata saja ia akan tahu mana yang tulus dan mana yang tidak.

ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang