PART 3

24.7K 2.1K 1.4K
                                    

Revisi setelah end

“Neng, Neng Feren. Bangun, Neng. Bentar lagi jam tujuh. Nyonya juga udah datang tuh di bawah.” Mbok Enik menggoyang-goyang tubuh majikannya itu yang masih terbungkus selimut tebal.

Feren bergerak-gerak sebentar tapi masih dengan mata tertutup. “Bentar lagi, Mbok. Masih ngantuk.”

“Neng. Ayok, Neng. Bangun. Mbok takut kena marah nyonya lagi.”

“Iya, iya. Aku bangun kok ini.” Feren kemudian bangkit. Duduk dengan malas, dengan mata yang masih tertutup. Sementara Mbok Enik ke jendela untuk membuka gorden. Cahaya mentari pagi langsung masuk ke dalam kamar membuat Feren mau tidak mau harus membuka matanya karena silau.

“Ayok, Neng.” Mbok Enik melanjutkan tugasnya. Menarik selimut Feren untuk dilipat. Kamar dengan interior berwarna hitam putih itu memberikan sedikit kesan tomboy pemiliknya. Di sudut kamar ada gambar karikatur dalam ukuran besar semua karakter pada anime one peace. Ada juga gitar yang terpajang, yang entah kapan terakhir kali Feren memetiknya.

“Udah, Mbok. Mbok keluar aja. Nanti aku yang lanjutin. Aku mau siap-siap dulu.” Feren berpura-pura mengambil alih tugas Mbok Enik sembari tersenyum lebar. Rambut tebal sebahunya yang acak-acakan nyaris menutupi sebagian wajahnya. Membuat Mbok Enik sedikit bergidik ngeri, lantas kemudian membalas senyum Feren. Anak majikan tapi berasa seperti anak sendiri. Feren lebih banyak menghabiskan waktu bersama para pembantunya dibanding maminya sendiri.

Mbok Enik pun keluar. Baru saja melewati pintu, Feren langsung melempar lagi selimutnya secara acak ke tempat tidur. Kemudian ke kamar mandi dengan langkah lunglai. Dan dalam waktu singkat dia sudah mengenakan baju sekolah, dilapisi dengan sweeter tipis yang terbuat dari katun.

Setelah memeriksa ulang buku-bukunya dalam tas dan mengecek lagi penampilannya di depan cermin, Feren kemudian keluar kamar. Menuruni tangga spiral menuju lantai satu. Di ruang tengah sedang duduk perempuan paruh baya yang masih lengkap dengan pakaian kantornya, dengan kancing bagian atas yang terbuka juga kusut pada beberapa bagian. Di tangannya sebatang rokok masih mengepulkan asap.

Perempuan itu hanya menatap sekilas ke arah Feren, dan melanjutkan aktifitasnya bersama gawai yang ada di tangan. Feren juga tidak begitu peduli dengan kehadirannya. Lantas melintas begitu saja menuju kamar papinya.

Seperti biasa, Feren hanya membuka sedikit pintu kamar. Mengintip untuk melihat keadaan papinya. Papinya masih tertidur pulas di tempat tidur. Sudah dua tahun Feren tidak pernah lagi mendengar nasihat-nasihat papinya yang hangat. Sudah dua tahun papinya terbaring karena terkena stroke yang menyebabkan banyak anggota tubuhnya tidak aktif lagi karena lumpuh.

Setelah melempar senyum, Feren menutup lagi pintu kamar. Dengan sangat perlahan dan hati-hati tentunya. Takut papinya terbangun. Feren hendak berangkat ke sekolah. Sebenarnya dia malas untuk melintas di depan maminya lagi. Tapi mau bagaimana, pintu utama ada di seberang sana. Sama seperti tadi, Feren melintas begitu saja tanpa menggubris maminya.

“Anak gadis kok bangun kesiangan,” sindir perempuan bernama Ratih itu tanpa menengok sama sekali ke arah anak gadisnya yang melintas.

Feren menatap sekilas. Ingin rasanya ia membalas. Tapi berusaha ditahannya. Hanya berucap kasar di dalam hati. “Masih mending gue. Lo, udah jadi istri tapi gak jelas kalau malam tidurnya di mana.” Feren tidak membalas, hanya mendengus kesal.

Dengan dada yang penuh amarah, Feren melanjutkan langkah. Di luar sudah menunggu Pak Acil, sopir pribadinya yang siap mengantarkannya ke mana saja.

“Selamat pagi, tuan putri cantik,” sapa Pak Acil sembari menunduk, dengan satu tangan ke belakang dan satunya lagi di simpan di depan dada. Sambutan khasnya setiap pagi.

THE BLOCKADE (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang