PART 10

12.5K 1.2K 1.1K
                                    

Revisi setelah end

Jose masih termenung di meja belajarnya. Seharusnya dengan semakin dekatnya hari ujian ia lebih giat lagi belajar. Apalagi tadi dia bersama Sam and the gang sudah mendapatkan pencerahan dari Pak Adit. Tapi konsentrasinya malam ini benar-benar buyar. Akhir-akhir ini dia memang sangat susah untuk fokus. Pikirannya selalu teralihkan kepada Aime. Tentang meninggalnya. Hati kecilnya selalu membenarkan ucapan Feren yang waktu itu, kalau Aime di bunuh oleh seseorang. Tapi siapa? Bagaimana caranya? Buktinya apa? Ingin sekali Jose mencari lebih dalam tentang kasus ini. Namun sama sekali ia tidak punya petunjuk. Dengan hanya bermodalkan ingatan pada tontonan atau bacaan thriller yang selama ini ia konsumsi tentunya tidaklah cukup. Jose merasa butuh teman untuk mencari tahu.

Flashback

Setelah perkenalan mereka di hari pengumuman waktu itu, Jose dan Aime semakin akrab. Seperti kali ini, pada jam terakhir, guru-guru sedang rapat sehingga kelas kosong dari mata pelajaran. Aime meminta kepada Jose untuk mengajarinya bermain catur.

Jose datang dengan papan catur ke rooftop. Ini memang menjadi tempat favorit keduanya. Aime telah menunggunya di sana. Di tempat yang teduh. Setelah Menyusun meja dan kursi, papan catur pun digelar. Terlihat wajah Aime yang sangat senang.

“Jadi beneran kamu mau ajarin aku?” seru Aime sumringah yang membuat pipinya memerah. Dengan kulitnya yang putih membuat itu semakin terlihat jelas.

“Iya, bener. Aku bakal ajarin kamu sampe mahir,” jawab Jose yang sedang mengambil posisi duduk. Sekarang mereka hadap-hadapan dengan meja sebegai pembatas.

“Yeay! Seneng banget. Ajarin dari awal banget ya. Aku bener-bener gak tau sama sekali. Tapi pengen banget belajar biar bisa main catur.”

“Iya, siap. Tenang aja. Oke, kita mulai.” Jose membuka papan catur dan mulai menjelaskan seperti guru kepada Aime yang duduk di hadapannya. “Papan catur itu terdiri dari dua warna. Hitam dan putih.” Jose menunjuk kotak-kotak berwarna hitam-putih yang dia maksud. Setelah itu mulai mengangkat satu persatu bidak catur. “Pada barisan depan ini diisi oleh yang namanya pion. Kemudian di sini, paling pinggir diisi oleh benteng, di sampingnya kuda, kemudian gajah, kemudian mentri dan yang terakhir di sini adalah raja. Kira-kira beginilah tampilan awalnya.” Sekarang di atas papan catur sudah terususn rapi, masing-masing bidak pada posisinya. Di sisi Jose yang berwarna hitam, dan di sisi Aime yang berwarna putih.

Aime memperhatikan dengan saksama. Dengan sesekali mengerutkan dahi dan sesekali mengulang ucapan Jose agar ia bisa mengahafal nama-nama yang dia sebutkan.

“Selanjutnya adalah yang perlu diketahui, kalau putih selalu melangkah terlebih dahulu. Setelah itu baru diikuti oleh hitam. Langkah demi langkah, secara bergantian.”

“Owh gitu. Oke-oke. Paham,” respons Aime sambil angguk-angguk.

“Oke kita lanjutkan. Aku akan jelasin satu persatu elemen catur ini. Yang pertama benteng. Benteng ini hanya bisa bergerak secara vertikal dan horizontal secara garis lurus.” Jose memperagakan bagaimana cara kerja benteng yang dia maksud. Setelah melihat Aime yang mengangguk paham, ia melanjutkan menjelaskan satu per satu fungsi dan cara kerja semua elemen yang ada di atas papan catur itu. Kuda, gajah, menteri, raja, dan pion-pion yang masih berbaris rapi.

“Kalau kuda emang gak bisa bergerak kalau tidak mengikuti arah huruf el?” tanya Aime.

“Tidak bisa. Masing-masing elemen hanya bisa bergerak sesuai arah yang sudah ditentukan tadi.” Jose mengulang penjelasan tentang kuda yang dia maksud. Aime masih kurang paham.

Kurang lebih setengah jam Jose menjelaskan. Dan Aime sudah mulai paham dasar-dasar bermain catur meskipun masih berupa teori.

“Aaa, makasih banyak Jo udah mau ajarin aku. Besok lagi ya. Aku juga pengen bisa jago kayak kamu. Pengen punya sedikit keahlian dan kelebihan biar hanya sedikit. Yang dengan itu bisa aku banggakan di depan mami papi aku.”

“Iya sama-sama. Tenang aja. Aku bakal ajarin kamu setiap hari kalau kamu mau.” Jose merapikan semua bidak dan menyimpannya ke dalam papan catur yang sudah dilipat. Tidak lama bel pulang menggema di seluruh sudut sekolah.

***

Jose sangat senang di hari itu. senyum Aime benar-benar lepas. Merona dipipinya tidak hilang sejak pertama kali Jose duduk berhadapan dengannya. Ia memperhatikan itu. Dan masih menempel diingatannya hingga hari ini.

***

Ternyata di dalam kamarnya Feren juga begitu. Bayang-bayang Aime mengganggu konsentrasinya. Ia lantas meraih benda persegi yang ada di samping laptopnya. Kemudian mengetikan sesuatu di room chat.

“Jo, kita ketemuan yuk. Gue pengen ngomong sesuatu soal Aime.” Begitu pesan yang dikirim Feren,

Tidak lama datang balasan dari Jose. “Sekarang? Di mana?”

“Kafe Harapan aja, yang deket sekolah.” Balas Feren kemudian. Tanpa menunggu balasan, Feren lantas bangkit. Menarik jaket kulit berwarna hitam miliknya dan meraih kunci motor.

Dalam beberapa menit Feren tiba di lokasi. Di sana juga sudah ada Jose. Jarak rumah Jose tidak jauh dari sini, sehingga ia cukup dengan berjalan kaki.

“Lo udah lama nunggu?” tanya Feren sembari menggantung jaketnya di belakang kursi. Cewek satu ini semakin terlihat tomboy jika tanpa mengenakan seragam sekolah.

“Barusan sih. Kita pesan minum dulu ya.” Balas Jose. Ia melambai kepada waitress.

Setelah dua gelas ice drink tersaji di meja, Jose mulai membuka obrolan. “Apa yang lo pengen sampein soal Aime?” tanya Jose tanpa basa-basi.

Feren menyeruput minumannya. “Gini. Jujur gue sampe hari ini gak percaya kalau Aime bunuh diri. Seperti omongan gue waktu itu.” Jose mangangguk menyetujui. “Gue di malam itu juga ada di sekolah.”

Jose kaget. “Ha? Beneran? Terus.”

“Dan bukan hanya kami berdua yang ada di sana. Ada lagi siswi lain yang sudah lebih dulu datang. Sepengetahuanku kami bertiga saja yang ada di sekolah. Kira-kira saat itu jam sepuluh malam.” Kemudian Feren menceritakan alasannya kenapa bisa ada di sekolah malam itu dengan detail kepada Jose.

“Tapi apa Aime ngasih tanda-tanda sebelumnya? Mungkin dia sedang punya masalah dengan siapa gitu.” Jose mencoba menerka.

“Gue dan Aime itu cukup dekat. Kami selalu saling cerita setiap ada masalah. Sepengetahuan gue, Aime tidak pernah bermasalah dengan orang lain. Dia tidak pernah menceritakan itu. Hanya saja seperti yang gue ceritakan tadi, kalau di pagi harinya Aime datang ke sekolah sambil menangis. Dan gue yakin kalau itu pasti karena masalah dengan keluarganya. Lo sendiri tau 'kan gimana Aime diperlakukan maminya?”

“Hm iya sih.” Kedua alis Jose bertemu. Dia sedang berpikir keras. “Lo gak nemuin tanda yang lain? Lo doang yang bisa gue andelalin.”

“Sebenrnya ada lagi. Gue nemuin sesuatu di atas rooftop  saat gue naik mencari Aime.”

“Lo nemuin apa? Jose tidak sabar.

Feren memasukan tangannya ke saku jaket, merogoh sesuatu.

***

Halloo gimana kabar kalian? Semoga suka yang dengan cerita The Blockade sejauh ini.🥳

Bantu vote dan comment ya. Sebanyak-banyaknya hehe.

Ditunggu kelanjutannya.🥳

THE BLOCKADE (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang