PART 7

15.6K 1.5K 1.2K
                                    

Revisi setelah end

Sebentar lagi mereka sampai. Mobil marcedes hitam itu belok kanan. Di depan sana, rumah dengan halaman yang luas itu adalah kediaman keluarga Hernandes. Mobil berhenti. Dua orang satpam berseragam hitam membukakan pintu gerbang, dan sedikit membungkuk memberikan hormat saat mobil itu bergerak melintasi mereka. "Selamat siang, Nyonya Muda."

Bricia dari kursi belakang acuh saja. Setelah melintasi taman yang penuh dengan bunga dan pohon-pohon yang rindang, mobil berhenti untuk kedua kalinya. Supir pribadi Bricia kemudian turun dan membukakan pintu untuk majikannya. "Silakan, Nyonya Muda."

Sama halnya seperti tadi, Bricia lantas turun dan masuk ke dalam rumah melalui pintu utama. Pintu besar yang terbuat dari kayu jati yang dipernis itu terbuka sebelum Bricia menyentuh gagang pintu. Dua orang pelayan sudah menyambutnya. "Siang, Nyonya Muda."

"Siang," jawab bricia malas karena disapa berulang. Ia sedikit mengibaskan rambutnya dengan sebelah tangan. Setelah itu ia memberikan tas sekolahnya kepada salah satu pelayan. Dengan sigap pelayan berseragam putih itu menyambutnya. "Mami di mana?" tanya Bricia.

"Di kolam renang, Nyonya."

Bricia kemudian berjalan menuju kolam renang yang berada di dalam rumah, di sisi kanan yang memiliki pintu langsung ke taman. Dinding di situ sebagiannya menggunakan kaca bening, sehingga dari kolam kita bisa menikmati pemandangan taman yang luas.

"Eh, anak cantik mami udah pulang. Gimana lunchnya ama Jo-"

"Jose, Ma," potong Bricia yang melihat maminya lupa dengan nama pujaan hatinya yang waktu itu ia ceritakan.

"Owh iya. Jose. Gimana?" Lanjut Mami Bricia yang biasa disapa Nyonya Reni itu.

Sekarang Bricia duduk di samping maminya yang sedang menikmati pemandangan di luar. "Ya gitu, Mami."

"Gitu gimana? Dia belum ngasih tanda-tanda ketertarikannya ke anak mami yang manis ini?"

"Jose masih suka ngungkit soal Aime. Males tau!" sungut Bricia.

"Owalah. Apa sih yang bikin dia segitunya ke Aime-Aime itu. Yang anaknya Koesnadi 'kan?"

Bricia mengangguk.

"Cantik, udah pasti kamu lebih cantik. Pintar, apa yang mau dibanggain dari anak itu. Jelas-jelas kamu lebih segalanya. Kaya? Keluarga kita lebih kaya." Bu Reni menekan kalimat terakhirnya. Sudah lama keluarga mereka bersiteru. Dan hingga hari ini Bu Reni masih menyimpan ketidak sukaan kepada keluarga Koesnadi, yang notabenenya adalah ayah dari Aime.

"Aku akan segera milikin hati Jose. Harus. Bagaimana pun caranya." Balas Bricia tidak kalah sengit.

"Gitu dong. Memang dalam diri kamu, darah persaingan keluarga Hernandes mengalir deras. Kita tidak boleh kalah dalam segi hal apa pun. Pengecualian kalau kita yang mengalah. Ada yang ditargetkan, kejar sampai dapat. Begitu prinsip keluarga kita." Bu Reni kembali berapi-api. Di dadanya seperti ada genderang perang yang bertalu-talu. "Eh, kamu tadi makan siangnya kenyang 'kan? Mami juga udah masak lho. Ada juga rendang kesukaan kamu." Nada Bu Reni kali ini mulai menurun.

"Udah laper lagi nih, Mi. Tadi di sana gak terlalu menikmati. Aku fokus ke muka Jose aja hehe." Bricia memeluk maminya dari samping. Terlihat begitu dekatnya ia dengan sang mami. Bricia juga merupakan anak satu-satunya. Semua yang dia inginkan pasti akan difasilitasi oleh keluarganya. Apalagi di rumah ini hanya mereka berdua selain para pelayan dan pekerja. Papi Bricia lebih banyak menghabiskan waktunya di Amerika. Mengurusi bisnis keluarga mereka di sana. Jadinya hanya Bricialah yang jadi teman ngobrol Bu Reni. Hingga terbangun keakraban yang cukup dekat di antara mereka.

"Ya sudah makan dulu sana. Abis itu ganti baju terus istrahat."

"Iya, Mi." Bricia kemudian berdiri setelah mengecup pipi maminya. Berjalan masuk lagi ke dalam rumah dan menuju dapur. Di meja makan, sudah ada pelayan yang menyambut. Makanan sudah dipersiapkan.
"Selamat makan, Nyonya."

***

Seusai makan Bricia langsung menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Kamar dengan ukuran lumayan luas itu berisi dua lemari pakaian, ranjang ukuran jumbo, juga cermin panjang yang tergantung di dinding. Di sisi kanan, dekat jendela ada meja belajar Bricia. Dan satu ciri khas, nyaris semua benda di sini berwarna merah muda. Begitu juga dengan warna dinding.

Bricia melempar tasnya ke atas kasur. Namun mendadak ia teringat sesuatu, ia tarik lagi tas tadi dan ia keluarkan handphone dari sana. Kemudian duduk di meja belajar. Menyalakan laptop dan menyalin sesuatu dari HP itu. Ditekannya tombol power pada print yang juga ada di atas meja.

Tidak lama keluar dari sana beberapa lembar gambar. Dan itu adalah hasil jepretannya hari ini. Ia ambil gunting dan ia potong masing-masing gambar sesuai pola yang ia buat. Ada yang berbentuk persegi, ada juga yang berbentuk hati. Dan semua gambar di sana adalah foto Jose yang ia ambil secara diam-diam.

Setelah semua foto terpotong dengan baik, ia angkat salah satu foto yang menunjukan gambar Jose sedang mengkhayal keluar jendela. Tangkapan kali ini lebih bagus dibanding foto yang lain. Karena memang Bricia mengambilnya secara diam-diam. Satu kebiasaan lain Bricia, pada setiap foto terdapat tanggal pengambilan gambar. Di sana tercantum tanggal 7 april 2019. Bricia memang sengaja mengaktifkan fitur time stamp pada tangkapan kameranya, dengan tujuan agar bisa mengabadikan dan mengingat setiap momen yang terjadi. Terutama kebersamaannya dengan Jose.

"Kamu tampan sekali, Jo. If I could go with you in the dream, I would continue to sleep forever." Setelah itu ia kecup foto itu dan menggantungnya di dinding. Di sana sudah banyak manggantung foto-foto Jose yang lain dengan berbagai pose. Bricia tidak peduli dengan hasil tangkapan kameranya seperti apa. Bahkan sebagiannya blur. Namun bagi Bricia yang penting objek fotonya adalah Jose, maka itu wajib untuk disimpan.

Setelah aktifitas mengantung foto selesai, sekarang saatnya mengabadikan momen tadi ke dalam bentuk tulisan di dalam buku diary.

Dear my love

Makasih ya, untuk hari ini. Tau gak aku seneeeeeng banget. Seneng. Seneng. Seneng. Akhirnya setelah ajakanku yang ke sekian, kamu mau juga buat nemenin aku lunch. Aku gak tau tadi itu kamu terpaksa atau tidak, tapi aku bodo amat. Itu awal yang baik bagiku. Semoga ke depannya kita makin dekat lagi. Hmm please jo, aku pengen minta satu hal. Kalau bisa saat kamu bareng aku, tolong jangan bahas Aime lagi. Jujur aku tidak suka kamu menyebut nama itu di depanku. Aku jijik. Saat masih hidup saja aku enggan, apalagi saat ini. Aime sudah jadi tanah. Sekarang kamu milik aku, Jo. Tidak ada yang bisa merebut kamu dari aku.

...

Setelah menulis sedikit isi hatinya ke dalam buku diary, Bricia kemudian menutup. Hatinya sedikit lega. Ia lantas merebahkan badan di atas ranjang. Istirahat, sambil merekam ulang kebersamaannya dengan Jose.

***

Di dalam ruangan kerja di rumahnya, pria yang bernama Koesnadi itu seperti sedang memikirkan sesuatu. Tidak lama muncul dari balik pintu istri tercintanya. Membawa sebuah amplop dan memberikan kepada sang suami. Pak Koesnadi lantas langsung membacanya.

"Semua sudah beres. Akan diurus oleh orang suruhan kita," ucap Bu Berta dengan senyum piciknya.

"Kerja bagus, sayangku." Pak Koesnadi tertawa terbahak-bahak.

***

Maaf agak telat updatenya hehe.
Untuk hari ini segitu aja dulu. Besok baru lanjut lagi.

Jangan lupa buat vote dan comment ya. Spam juga lebih baik.😁

Satu lagi, tandain kalau ada typo atau mungkin ada yang cacat logika. Soalnya saya sekarang targetnya buat selesain cerita ini dalam sebulan atau mungkin lebih dikit. Jadi saya nulis dulu, nanti baru diedit. Mohon pengertiannya kalau masih banyak cacat.

Ditunggu part lanjutannya besok ya.🥳

THE BLOCKADE (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang