PART 13

10K 1.1K 1.1K
                                    

Revisi setelah end

Feren melihat jam dari handphonnya. Ia kucek-kucek matanya yang semalaman begadang menjaga papinya. Pukul enam kurang lima menit, begitu yang tertera di layar. Ia kemudian merenggangkan pinggangnya yang nyeri karena tidur dalam posisi duduk di samping ranjang papinya, yang sekarang pada mulut dan hidung sudah ada alat bantu pernapasan. Feren melihat ke Mbok Enik yang ternyata juga tertidur pulas di kursi dekat pintu. Mbok Eniklah yang selalu setia menemani Feren. Sosok ibu ia justru dapatkan dari pembantu mereka itu. Feren juga sudah mengirim pesan kepada Pak Adit selaku wali kelas dan Jose selaku ketua kelas, kalau hari ini ia izin tidak berangkat ke sekolah karena harus menjaga papinya yang sedang sakit.

Tidak lama gagang pintu bergerak. Muncul dari sana perempuan paruh baya yang menenteng tas kecil yang entah apa isinya. Feren membuang muka saat melihat maminya itu datang. Bu Ratih kemudian duduk di sebelah ranjang. Mengeluarkan sebungkus rokok dan hendak membakarnya. Tetapi ia urungkan. Ia masukkan lagi rokok itu ke dalam tas sambil melihat lekat-lekat kondisi suaminya yang semakin menua dan lemah itu. Tidak lagi seperti dua puluh tahun silam, saat ia tiba-tiba datang ke rumah orang tuannya untuk melamarnya. Bu Ratih tersenyum kecut, jika bukan karena hartanya yang banyak waktu itu, jelaslah ia akan menolak. Tapi siapa yang tidak akan tergoda. Apalagi usia mereka yang terpaut lumayan jauh, jelas itu akan menguntungkannya. "Bersabar sebentar, menunggu ia meninggal, kemudian hartanya jadi milikku." Begitu pikir Bu Ratih muda saat menerima lamaran Darmoko yang sekarang telah jadi suaminya dan terbaring di hadapannya itu.

“Apa kata dokter, Fe?” Bu Ratih melempar pertanyaan kepada Feren, yang kembali merebahkan kepalanya di samping papinya. Masih dalam posisi duduk. Ia genggam tangan papinya itu erat-erat.

Feren tidak menjawab. Ia tidak terima dengan perlakuan maminya kepada papinya selama ini. Maminya sama sekali tidak ambil pusing dengan penyakit yang diderita oleh papinya itu. Bahkan pada kondisi kritis seperti sekarangpun ia baru datang. Entah semalam ia berada di mana. Padahal jelas Mbok Enik sudah mengabari.

“Fe!” bentak Bu Ratih.

Feren mengangkat kepala malas.

“Kamu denger gak mami ngomong apa?” Nada suara Bu Ratih mulai meninggi.

Karena takut papinya terganggu. Feren bangkit dan keluar dari ruangan bercat putih itu. Bu Ratih menyusul anak tunggalnya yang masih pagi sudah membuatnya naik darah. Anak yang sebenarnya ia tidak harapkan kehadirannya. Sebab akan menjadi pesaingnya di masa mendatang.

“Hey! Kamu makin gede makin membangkang kepada orang tua ya!” Lanjut Bu Ratih setelah keduanya berada di luar. Sekarang Feren dan maminya itu hadap-hadapan. Untung saja suasana masih pagi, sehingga koridor tidak begitu ramai orang yang lalu lalang.

“Emang mami pantas dibilang orang tua? Selama ini mami ke mana saat papi sakit? Bahkan saat papa kritis seperti semalam, mami gak tau entah di mana.” Feren sudah tidak tahan lagi. Semua emosinya ia luapkan.

“Dasar anak gak tau diuntung! Mami juga kerja cari duit buat kamu dan papi kamu yang gak guna itu.”

Feren tidak tahan lagi. Air matanya tumpah. “Feren gak butuh duit, Mi. Feren butuh keluarga. Keluarga, Mi! Keluarga! Feren selama ini gak pernah tau apa arti sebuah keluarga. Feren capek, Mi! Feren capek!”

“Dibentak dikit nangis. Kamu itu emang gak ada bersyukur-bersyukurnya ya.”

“Kalo emang mami gak butuh dan gak sayang lagi ke Feren sama papi, mending mami pergi aja deh!” Feren lepas kendali.

PLAKK!!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Feren. Waktu seolah berhenti. Tangis Feren tertahan beberapa detik. Feren benar-benar kaget. Bukan karena sakit dari tamparannya, tapi karena sakit yang ia sendiri tidak bisa terjemahkan. Ternyata maminya bisa memperlakukannya demikian. Ini baru kali pertama.

Refleks Feren balik badan. Masuk kembali ke ruangan mengambil tas dan langsung angkat kaki dari sana. Ia lewati begitu saja maminya yang masih mematung. Bu Ratih hanya menatap anaknya itu pergi meninggalkannya. Entah itu tatapan puas atau penyesalan, Feren tidak lagi peduli. Pak Acil, supir pribadi Feren sudah menunggu di parkiran, selalu siap dalam segala keadaan.

***

Feren membanting pintu kamarnya. Ia benar-benar sakit hati dengan kejadian tadi. Ia jatuhkan tubuhnya di atas Kasur. Tangisnya kembali lagi, meskipun tadi di mobil, Pak Acil sempat menghiburnya dengan beberapa candaan ringan dan cerita lucu. Tapi itu sama sekali tidak berpengeruh. Di tengah tangisnya ia teringat Aime. Dahulu jika ia ada masalah seperti ini, maka Aimelah satu-satunya tempatnya bercerita. Mencurahkan semua unek-unek yang ia rasakan. Begitu juga sebaliknya, jika Aime yang ada masalah, maka Ferenlah yang menjadi tempat berkeluh kesah Aime. Tapi kali ini berbeda. Aime sudah tidak ada. Tidak ada lagi tempatnya bercerita. Air matanya makin deras mengalir. Dengan susah payah ia raih tasnya. Kemudian mengeluarkan handphone dari sana. Ia klik aplikasi obrolan berwarna hijau. Kemudian membuka room chatnya bersama Aime.

Ia kemudian melakukan rutinitasnya seperti biasa. Mengetikkan segala apa yang ia rasakan. Meskipun ia yakin tidak mungkin ada balasan. Namun hal ini Feren telah lakukan bahkan sejak berita kematian Aime ia dengar. Menurut keterangan pihak kepolisian kalau handphone Aime hilang. Dan tidak ditemukan di TKP. Padahal sudah seperti itu, tapi anehnya kenapa pihak kepolisian masih berkesimpulan kalau Aime bunuh diri. Mereka berpendapat kalau HP Aime jatuh saat melompat. Namun hingga hari ini HP itu belum diketemukan.

Aime, lo tau gak? Hari ini gue dongkooool banget. Banget, banget, banget. Lo pasti tau kan gara-gara siapa. Iya, siapa lagi kalau bukan nenek sihir itu.

Masa iya, papi gue kritis semalam dia gak dateng. Chat Mbok Enik ke dia aja hanya diread. Panggilan gak diangkatnya. Istri macam apa coba.

Terus nanti pagi tadi baru tiba di rumah sakit. Gak ada kelihatan raut sedih-sedihnya. Bahkan hampir saja ia merokok di dalam ruangan. Emang gak ada otak.

Paling parahnya lo tau? Gue ditamparnya. Iya sih, gue salah karena ngangkat suara saking emosinya, tapi kan gak ditampar juga kali. Sakit banget.

Feren terus mengetikkan pesannya. Keluh kesahnya. Air matanya belum juga berhenti berderai. Namun tiba-tiba matanya membulat kaget. Isaknya terhenti. Feren bangkit dan duduk. Jantungnya berdebar. Pesan-pesan yang ia kirim tiba-tiba berubah dari centang satu menjadi dua. Dan muncul tulisan online di bawah nama Aime.

Tidak lama pesan-pesan itu centang duanya berubah warna menjadi biru. Feren terdiam sejenak. Berarti saat ini ada yang mengakses handphone Aime. Bisa jadi itu adalah pelakunya. Tanpa pikir panjang Feren langsung mengklik tombol panggilan. Sempat berdering. Tapi tidak terangkat. Feren tidak menyerah. Ia telepon untuk kedua kalinya. Lagi-lagi tidak terangkat. Feren mengulang untuk kali ke tiga, panggilan masuk dan terhubung. Feren memasang telinga baik-baik, agar bisa mendengar suara siapa yang ada di seberang.

***

Segitu aja dulu ya hehe. Nanti dilanjut lagi.
Kira-kira siapa yang megang HP Aime? Penasaran ey.

Jangan lupa buat ngasih vote dan comment. Biar authornya makin semangat.🥳🥳

Ajak juga teman-teman yang lain, biar cerita ini makin banyak peminatnya.

Ditunggu part berikutnya.🥳🥳

THE BLOCKADE (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang