PART 16

10K 1.1K 1.1K
                                    

Revisi setelah end

Feren menghembuskan napas. Ia mengira Jose tahu siapa pemilik pin itu. “Kalau benar pemilik pin ini adalah juga yang megangin HP Aime, berarti si pembunuh adalah seorang perempuan,” komentar Feren.

Jari jemari Jose bergerak-gerak di atas meja. Mengetuk-ngetukannya secara tidak beraturan. Ia memang memiliki kebiasaan seperti ini setiap kali sedang berpikir keras. “Bisa jadi bener. Tapi.” Jose memutus kalimatnya. Memperbaiki posisi duduknya lebih serius.

“Tapi apa, Jo?”

“Lo yakin pin ini bukan milik Aime?” Jose memastikan.

“Seingat gue nggak. Gue gak pernah lihat Aime make pin kayak gini,” jawab Feren.

“Satu lagi. Pin kayak gini pasti banyak samanya 'kan?” Kalau bukti ini aja, kayaknya kurang kuat deh. Mungkin kita memang perlu buat nemuin HP Aime itu. Gue yakin di sana pasti ada jawabannya.” Jose berargumen.

Dengan sedikit mengerutkan dahi, Feren mengangguk setuju dengan ucapan Jose barusan. “Ada benarnya juga sih. Tapi, gimana caranya? Nomor Aime aja udah gak aktif lagi. Dan si pelaku pasti sekarang lebih meningkatkan kewaspadaan setelah kedapatan aktifin WA Aime tadi.”

Jose kemudian melihat jarum pada jam tangannya. “Gue harus balik ke sekolah sekarang. Nanti kita bahas lagi.” Obrolan keduanya pun berakhir. Jose harus kembali ke sekolah. Feren masih di kafe, menyandarkan punggung secara malas sembari menimbang-nimbang pin yang ia pegangi. Sesekali ia buka lagi room obrolannya dengan Aime. Ia mencoba mengaitkan keduanya. “Apa ya kaitannya pin ini dengan HP Aime?” gumam Feren dalam hati. Tidak lama ia bangkit dan cepat-cepat menarik jaketnya. Dia tahu harus melakukan apa sekarang.

***

“Makasih ya, Pak.” Jose melambai ke satpam yang telah membukakan pintu dan membiarkannya tadi keluar dari lingkungan sekolah.

“Siap, Jo. Ingat ya, janji kamu. Bapak gak mau bantu buat bukain pintu untuk kedua kalinya kayak tadi. Untung aja tadi gak ketahuan,” ucap si satpam dengan dialeg Jawanya yang medok.

“Aman, Pak.” Jose mengangkat jempol tinggi-tinggi. Ia kemudian berjalan masuk ke lingkungan sekolah. Sekarang masih jam istirahat. Jose menyempatkan mampir ke tempat kejadian di mana jasad Aime ditemukan. Jose mendongakkan kepala ke atas. Mengira-ngira bagaimana posisi Aime saat terjatuh di malam itu. Satu hal yang mengganjal hati Jose, kalau menurut pantauan CCTV hanya Aime sendiri yang terlihat di malam itu. Begitu informasi yang ia dapat dari surat kabar yang ia baca sehari setelah kejadian. "Apa ini betul praktik bunuh diri?" Jose mencoba mengalihkan pikirannya, lantas melanjutkan langkah menuju kelas.

***

“Ih, dari mana aja sih? Aku nungguin kamu tau. Di kantin gak ada. Di kelas juga ngilang.” Baru juga tiba di dalam kelas, Jose langsung didekati Bricia. Hanya ada beberapa siswa di sana. Yang lain masih di luar kelas. Termasuk Sam and the gang.

“Ada urusan,” jawab Jose tidak begitu antusias dan melintas begitu saja. Ia hendak ke tempat duduknya.

“Jo, entar siang kita lunch lagi ya. Di tempat yang biasanya aja,” seru Bricia sedikit mengangkat suara. Sengaja agar didengarkan oleh teman-temannya yang lain. Biar mereka tahu kalau sekarang Jose telah jadi miliknya. Aime, saingan beratnya sudah tidak ada sekarang.

Jose tidak memedulikan. Apalagi saat ia sadar mereka berdua sedang diperhatikan teman sekelasnya yang lain. Bukannya risih, Bricia justru semakin percaya diri. Usahanya berhasil. "Untuk foto pada lunch pertama aja sudah lumayan ramai, apalagi yang kedua nanti,” pikir Bricia. Unggahannya yang waktu itu berhasil mendatangkan banyak like dan komentar dari followersnya yang kebanyakan adalah siswa SMA Cendekia Permata juga. Secara tidak langsung, Bricia ingin mengumumkan kedekatannya dengan Jose, laki-laki yang selama ini ia idam-idamkan.

***

Jose menggeser bidak caturnya. Sepulang sekolah tadi ia langsung menuju tempat kursus untuk latihan bermain catur. Untuk persiapan tournament mendatang.

“Skak!” seru Pak Tomo.

"Huuu ...." Jose mengembuskan napas. Hari ini ia benar-benar tidak bisa berkonsentrasi. Sudah dua ronde ia kalah.

“Kamu kenapa, Jo?”

“Gak papa, Pak. Lagi banyak pikiran aja. Yok lanjut ronde berikutnya.” Jose merapikan lagi bidak-bidak caturnya di atas papan berwarna hitam putih itu.

“Walah-walah. Anak zaman sekarang apa-apa dipikirin.”

Keduanya pun melanjutkan permainan. Tapi lagi-lagi pikiran Jose tidak fokus. Ia teringat soal pertemuannya tadi dengan Feren. Tentang HP Aime. Tentang pin berbentuk hati yang mirip dengan milik Bricia. “Apa itu hanya kebetulan saja?” pikir Jose.

Jose menggeser bentengnya untuk membalas serangan Pak Tomo. Pak Tomo juga tidak mau kalah. Ia tutup celah menggunakan gajah. Permainan terus berlangsung. Begitu juga isi kepala Jose yang masih melayang-layang. Jose mengingat sebuah kalimat yang pernah diucapkan oleh Aime. Saat itu Aime mengutip sebuah quotes dari komik detektif yang sedang ia baca. “jangan percaya kepada siapa pun. Semua bisa membahayakan nyawamu.”

Ketika itu Jose sempat bertanya. "Termasuk aku ke kamu?”

“Iya,” jawab Aime.

“Termasuk Feren ke kamu?”

Jawaban yang sama terlontar dari bibir Aime, diikuti dengan sebuah anggukan kepala.

Apa kali ini Feren bisa dipercaya? Kalau memang Feren memiliki barang bukti itu, kenapa saat pemeriksaan polisi justru ia tutupi? Kenapa Feren tidak mengakui kalau dia tahu sesuatu? Kalau dia malam itu ada di tempat saat kejadian juga. Apa motif Feren menutupi itu? Jangan-jangan ia hanya merekayasa cerita.

“Jo! Giliran kamu!” Pak Tomo mengagetkan Jose dari lamunannya.

“Eh i-iya, Pak.” Jose menggeser asal salah satu pionnya yang sedang dalam posisi bebas.

Karena melihat ada peluang, Pak Tomo menyerang menggunakan benteng. Yang bergerak lurus memukul kuda milik Jose. “Skak!”

Jose mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Rajanya sekarang sudah dalam posisi mati. Jose harus mengakui kekalahan. Hari ini ia benar-benar tidak bisa berkonsentrasi. Tiga kosong. Kalah telak.

“Jose, Jose. Kamu kayaknya hari ini sedang kacau ya. Udah, hari ini segini aja dulu. Kamu pulang terus istirahat. Eh, tapi udah ada yang datang tuh.” Pak Tomo memberikan kode menggunakan ujung matanya ke arah pintu. Gadis yang ia lihat beberapa hari lalu bersama Jose datang lagi.

Jose mengikuti arah mata Pak Tomo. Dan di sana ada Bricia yang sedang melambai riang.

“Ini toh yang bikin kamu gak fokus?” Pak Tomo tertawa renyah. “Udah sana! Pacar kamu udah datang. Disambut dong.”

Jose mengambil tas juga kemeja sekolahnya. Kemudian berdiri, bangkit dari tempat duduknya. “Dia bukan pacar aku, Pak.” Balas Jose malas.

***

Segitu aja dulu ya hehe.
Nanti kita lanjut lagi.🥳

Jangan lupa kasih vote dan comment ya. Ajak teman-teman readers yang lain buat baca cerita ini juga. Biar makin rame.

Owh iya, buat yang mau koreksi kalau ada typo, silakan aja. Ini emang masih draft awal. Jadi kalau ada yang bantu tandain typo, itu sangat ngebantu saya buat proses revisi nanti setelah end.

Ditunggu part lanjutannya.🥳
Yuk join group readers cerita ini.😁

THE BLOCKADE (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang