18. Love is Pain

110 11 2
                                    

Sebenarnya, Ares ingin mengajak Rere bermain ski. Tetapi, melihat kondisi wanita itu yang agak sulit untuk berjalan lama-lama membuat Ares tidak tega. Alhasil, sekarang mereka hanya bermain salju di depan rumah. Rere masih sibuk dengan aktivitasnya membuat boneka salju, sedangkan Ares—pria itu memperhatikan Rere dengan mengabadikan momen yang ada di depannya dengan kamera yang ia pegang.

“Lihatlah ke sini, Re.” Ares memberi instruksi. Rere langsung mendongak, ia tersenyum lebar saat Ares mengarahkan kamera di hadapannya. Beberapa jepretan sudah Ares dapatkan dengan Rere yang selalu berganti gaya. Setelah itu, Rere melanjutkan aktivitasnya membuat boneka salju yang hampir selesai.

“Ayo, foto bersamaku. Lihatlah ke sini!” ujar Ares. Ia mendekat ke arah Rere, lalu mengarahkan kameranya ke mereka dan mengambil foto.

Sembari menunggu Rere bermain salju, Ares memutuskan untuk duduk di salah satu bangku yang jaraknya tidak jauh dari Rere. Ia melihat-lihat foto Rere yang diambilnya. Sesekali ia tersenyum, melihat wajah cantik Rere yang terlalu mempesona di matanya. Melihat kebahagiaan yang terpancar di mata Rere, membuat perasaannya ikut senang sekaligus lega. Kejadian-kejadian yang menimpa Rere hingga membuat wanita itu sedih, trauma dan sampai hilang napsu makan membuatnya merasakan nyeri di dada.

“Kamu senang, Re?” tanya Ares dengan suara yang agak kencang agar Rere mendengar.

Rere mendongak, menatap Ares. Ia menganggukkan kepalanya dengan senyum lebar. “Aku selalu merasa senang, kak. Tanpa kamu tanyakan. Aku benar-benar sangat senang.”

Ares tersenyum, mengangguk. Apa pun akan ia lakukan agar melihat senyum itu lagi.

Setelah Rere selesai membuat boneka salju, ia melirik ke arah Ares yang sibuk dengan kameranya. Ia tersenyum usil, tangan kanannya mengambil bola salju berukuran sedang. Rere berjalan sedikit mendekat ke arah Ares, lalu tanpa banyak bicara ia melemparkan bola salju yang dipegangnya tadi hingga mengenai dada Ares. Mendapat serangan yang tiba-tiba, Ares tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Pria itu langsung menatap ke arah Rere yang tersenyum lebar, merasa puas dengan keusilannya.

Ares meletakkan kameranya, lalu mengambil salju dan membuatnya menjadi bola. Ia berlari ke arah Rere berniat untuk membalas wanita itu, tapi karena tau maksud Ares ingin membalasnya membuat Rere berlari kabur untuk menghindar dari serangan balasan pria itu.

“Jangan lari, Re! Awas saja kamu!” Ares terus berlari mengejar Rere. Hingga jaraknya semakin dekat, Ares langsung menarik jaket berbulu yang dipakai Rere. “Tertangkap!” Lanjut Ares memeluk tubuh Rere dari belakang.

“Kak, lepaskan,” ujar Rere. “Kamu seharusnya langsung melempar bola saljunya.”

“Tidak mau. Aku ingin menangkapmu karena sudah usil,” balas Ares. “Karena aku tidak membalas dengan melemparkan bola salju kepadamu, tetapi ....."

Belum sempat Ares melanjutkan kalimatnya, Rere sudah memotong terlebih dulu. “Jika itu berhubungan dengan ranjang, sungguh aku akan menolaknya.”

Mendengar kalimat Rere, entah kenapa terasa lucu di telinga Ares hingga membuatnya tertawa. “Tenang saja, tidak itu, Re. Tapi, ini.”

Tanpa banyak bicara, Ares langsung membalikkan tubuh Rere dan melumat bibir wanita itu. “Kupikir, ini membantu kita untuk menghangatkan bibir yang terasa dingin,” ujar Ares di sela-sela ciumannya.

Rere hanya menggelengkan kepalanya saja, menanggapi kalimat Ares yang sebenarnya ada benarnya juga. Tadinya, ia merasa dingin, tetapi sekarang jauh lebih baik dan terasa hangat. Di sela-sela ciumannya, ingatan Rere terputar momen beberapa waktu lalu, di mana mereka masih bergulat dengan panas di atas ranjang. Rere ingat dengan jelas, saat Ares tanpa sadar menyebut nama Raisa di tengah-tengah percintaan mereka. Saat itu, yang hanya bisa Rere lakukan hanya tersenyum. Nyatanya, sejauh apa pun mereka pergi dan seperhatian apa pun yang Ares berikan padanya, pria itu tetap kembali pada masa lalunya.

The Sunset Is Beautiful Isn't It? (On Going)Där berättelser lever. Upptäck nu