9. Hurts

1K 121 3
                                    

“Aku akan mengganti bajuku sebentar, kita akan pergi ke dokter,” ujar Ares. Pria itu akan beranjak dari duduknya, tapi ditahan oleh Rere.

“Tidak perlu, kak. Aku hanya merasa sedikit pusing. Nanti juga sembuh sendiri.”

“Aku sedang tidak menawarimu, Re. Kita akan ke dokter dan tidak ada penolakan.” Ares menatap Rere dengan tegas. “Badanmu pun juga panas. Jangan menyepelekan.”

Bahkan meskipun merasa pusing dan badannya yang panas, Rere tetap melakukan aktivitas seperti biasanya, menyiapkan makan malam untuk Ares. Lalu saat semua sudah siap, tiba-tiba saja Rere kehilangan keseimbangannya membuat ia hampir saja jatuh, untung saja Ares datang tepat waktu dan dengan cepat menahan tubuhnya.

“Duduklah di sini dan jangan ke mana-mana.” 

“Kak, kamu baru saja pulang dari kantor. Istirahatlah. Aku berjanji besok akan pergi ke dokter diantar oleh Pras.”

“Aku tidak merasa lelah,” balas Ares tidak mau dibantah. “Jadi, jangan membantah lagi.”

“Oke, baiklah,” balas Rere pelan dengan suara lemasnya. Meskipun di dalam hati sudah senang bukan main, karena Ares memperhatikannya. Itu benar-benar membuat Rere bahagia sekali. Kapan lagi, kan, Ares bersikap semanis dan seperhatian ini dengannya?

Rere terkekeh pelan. Menyadari jika dirinya benar-benar merasa hampa dan sepi. Ia membutuhkan seseorang yang perhatian dan hangat kepadanya. Ia membutuhkan sosok untuknya bersandar. Sejak dulu, setelah ditinggal oleh orang-orang tercintanya, yang ia butuhkan hanyalah kasih sayang. Bolehkah dirinya meminta untuk diberi sakit? Siapa tau dengan begitu, Ares bisa selalu bersikap manis dan hangat seperti ini seterusnya.

Saat melihat sosok Ares muncul, Rere beranjak dari duduknya dan berlari kecil ke arah suaminya itu. Tanpa aba-aba, Rere memeluk erat tubuh Ares dan menangis tanpa suara. Sedangkan Ares yang mendapatkan serangan tiba-tiba dari Rere hanya bisa diam. “Re, kamu baik-baik saja?”

Rere mengangguk. “Biarkan seperti ini sebentar,” ujarnya dengan suara serak.

Mendengar suara serak Rere, membuat Ares menarik dirinya untuk melihat keadaan istrinya itu. “Kenapa menangis?” Ares mengusap pipi Rere yang sudah basah.

“Aku hanya merindukan mama, papa, kakek, dan nenek.”

Setelah itu, Ares membawa Rere ke dalam pelukannya lagi. Mengusap punggung istrinya itu dengan lembut. “Ssst, tenanglah. Aku ada di sini.”

Mereka sudah sampai di salah satu rumah sakit swasta. Ares langsung saja menemui salah satu dokter yang sudah direkomendasikan oleh dokter keluarganya. Karena dokter yang sudah bekerja dengan keluarganya selama ini tidak bisa datang karena sedang berada di luar negeri. Rere menjalani pemeriksaan, lalu diberi resep obat. Gadis itu hanya demam biasa karena kemarin sempat hujan-hujanan. Setelah selesai, mereka berjalan beriringan keluar rumah sakit. “Ingin makan apa?” tanya Ares.

“Nasi goreng ... aku ingin nasi goreng seafood.”

“Oke.”

Namun, saat mereka hendak ke parkiran, ponsel Ares berdering. Nama Raisa tertera di sana, membuat Ares langsung mengangkatnya. Ia sedikit menjauh dari Rere. Tidak berselang lama, ia kembali. “Kamu tunggulah di sini sebentar, aku akan menemui Raisa terlebih dulu untuk menemaninya sampai mobilnya beres.”

“Ban mobilnya kempes dan dia sedang menunggu montir untuk datang.” Lanjut Ares membuat Rere diam. “Tidak apa, kan, menunggu sebentar di sini?”

Rere hanya mengangguk kaku. Lalu ia langsung meninggalkan Ares untuk duduk di sebuah bangku yang tidak jauh dari posisinya. Baru saja ia merasa bahagia, tapi sekarang harus merasakan sakit dan kekecewaan. Menahan untuk tidak menangis rasanya membuat dadanya sakit. Alasan lain yang membuatnya ingin adalah fakta bahwa ia tidak membawa ponsel. Jika saja membawanya, ia akan menghubungi Pras dan menyuruh untuk menjemputnya. Bodohnya ia tidak mengatakan hal itu pada Ares, karena sudah terlanjur kecewa membuatnya malas dan memilih untuk menurutinya.

The Sunset Is Beautiful Isn't It? (On Going)Where stories live. Discover now