32. Amarah

113 11 3
                                    

Rere benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa dan marahnya terhadap Ares. Karena akhirnya, Rere memutuskan untuk pulang menggunakan gojek online. Menunggu Ares lebih lama lagi akan membuang-buang waktunya. Mungkin saja Ares akan menyadari jika sudah meninggalkan Rere di toko bunga satu minggu kemudian. Pintu pagar langsung dibuka oleh Pras, saat pemuda itu melihat sosok Rere yang turun dari gojek online. "Pras, kamu apa tidak membuka pesanku?"

"Mbak Rere chat saya?"

"Iya, kemarin sore. Minta tolong untuk jemput aku di toko bunga."

Pras memperlihatkan wajah tidak enak dan bersalahnya. "Ya Allah. Maaf, mbak. Kemarin pagi hape saya jatuh di bak air. Jadi, ini lagi saya service."

"Maaf ya, mbak."

Mendengar penjelasan Pras membuat Rere tersenyum, mengangguk paham. "Yasudah, tidak papa, Pras."

Setelah mengatakan itu, Rere langsung masuk ke dalam rumah. Rasanya ia ingin beristirahat dengan nyaman dan nyenyak, karena semalaman sudah tidur di sofa membuat badannya terasa sakit dan pegal. Rere melangkahkan kakinya menaiki tangga, tapi langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar Ares sedikit terbuka. "Kak Ares di rumah?" gumamnya bertanya.

Merasa penasaran, Rere memutuskan untuk mengecek. Saat sudah di depan pintu Ares, entah kenapa jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Ia menarik napasnya dalam, lalu menghembuskan napasnya perlahan sebelum membuka pintu. Setelah menetralkan detak jantungnya, tangan Rere mendorong pintu kamar Ares yang memang sudah sedikit terbuka. Seketika, tubuhnya membeku. Pandangannya terpaku pada dua orang yang sedang berpelukan dengan nyaman. Rere yakin, di balik tubuh mereka yang tertutup selimut, mereka tidak memakai apa pun.

Rere menahan sekuat tenaga agar air matanya tidak terjatuh. Dengan berani ia melangkahkan kaki menghampiri mereka yang masih tidur dengan berpelukan. Terlihat mesra. Di atas nakas, ada gelas berisikan air. Rere mengambil, lalu tanpa banyak bicara menyiramkannya pada Ares dan Raisa, membuat mereka terkejut dan langsung membuka matanya.

"Bagus, ya. Aku semaleman sampai ketiduran di toko karena menunggu kak Ares, tapi ternyata sedang sibuk bersama dengan wanita ular ini," ujar Rere tidak bisa menyembunyikan amarahnya.

Ares yang tadinya emosi karena sikap Rere yang menyiram mukanya, kini tergantikan rasa bersalah.

"Main siram-siram saja, seperti tidak memiliki sopan santun." Raisa menatap kesal ke arah Rere. "Tidak melihat kita sedang tidur?”

"Keluar dari kamar kak Ares, sekarang!" Rere balas menatap Raisa dengan tajam, meraih tangan Raisa dan berniat untuk menggeret wanita itu.

Raisa dengan cepat menyentakkan tangan Rere. "Jangan sentuh-sentuh. Aku bisa sendiri."

Rere melemparkan celana pendek pada Ares, agar pria itu segera memakainya. Raisa pergi ke kamar mandi dengan tubuhnya yang ditutupi oleh selimut. "Aku tidak menyangka, kak Ares sekarang berani membawa Raisa ke sini. Bagaimana jika mama liat hal ini?"

"Kak Ares boleh melakukan semua hal yang kakak suka. Lagipula aku tidak pernah melarang, kan. Tapi ingat, kak Ares juga harus sadar diri. Mama bisa kecewa jika mengetahui semua ini."

"Maaf, Re ... aku bisa jelasin."

"Tidak ada yang perlu dijelasin, kak. Lagian aku ini cuma istri di atas kertas. Aku juga tidak ada hak melarang kak Ares, siapa aku, kan?”

Saat Ares hendak membuka suaranya, Raisa keluar dari kamar mandi dengan keadaannya yang sudah rapi dan setidaknya lebih baik dari sebelumnya. “Sayang ... aku pulang dulu, makasih untuk waktunya semalam—” Belum sempat Raisa menyelesaikan kalimatnya dan akan menghampiri Ares, sekedar untuk memberikan kecupan hangat, Rere dengan berani langsung menarik pergelangan tangan Raisa dengan kasar.

“Sudah cukup perpisahan romantisnya, keluar dari rumah ini. Tidak tau diri.” Rere terus menarik tangan Raisa, menuruni tangga membuat wanita itu marah karena sikapnya yang kasar. Namun, entah dari mana kekuatan Rere berasal, seakan lebih besar dari Raisa. Padahal ukuran tubuh Rere terbilang lebih kecil darinya.

Ares yang melihat semua itu hanya bisa diam. Entah kenapa juga ia tidak bisa berbuat banyak dan membela Raisa. Membiarkan Rere bersikap kasar pada kekasihnya.

“Pergi sana. Jika bisa yang jauh sekalian!” Rere mendorong pelan tubuh Raisa, membuat wanita itu terhuyung, hampir jatuh.

“Kamu! Berani-beraninya kasar sama aku. Liat aja balasanku ke kamu, Rere!” ujar Raisa sembari menatap Rere tajam, sebelum memutuskan untuk pergi.

Setelah melihat Raisa keluar gerbang dan pergi dengan menggunakan ojek online yang dipesan, Rere kembali masuk. Memutuskan untuk menemui Ares yang ternyata masih menunggu di kamar. Kali ini, pria itu sudah memakai kaosnya.

“Maaf, aku semalam bener-bener lupa, Re. Raisa maksa untuk ke sini, lalu dia—”

“Sudah, aku tidak ingin mendengar penjelasan kak Ares,” ujar Rere memotong penjelasan Ares dengan cepat. Ia hanya merasa tidak ingin mendengar penjelasan Ares yang begitu detail. Karena itu akan membuatnya merasa sesak dan semakin kecewa. “Apa yang kak Ares lakuin dengan ninggalin aku untuk kedua kalinya, benar-benar bikin aku kecewa.” Lanjut Rere. Kali ini, suaranya terdengar bergetar. Air mata yang sejak tadi mendesak ingin keluar, akhirnya jatuh juga.

“Aku bahkan tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika hal-hal yang lalu kembali terulang? Allah masih baik banget dengan ngelindungin aku semalem dari hal-hal jahat.”

Entah kenapa, mendengar semua kalimat Rere, membuat Ares tidak berani membuka suara, hanya sekedar memberi kalimat penenang untuk wanita itu. Ares juga merasa tidak berdaya melihat Rere yang menangis tanpa suara, sembari mengeluarkan semua rasa kecewa di hatinya. “Kak, aku beneran udah lelah. Cukup tujuh tahun aku selalu diam dan tidak peduli dengan apa pun yang kak Ares lakukan. Tapi kali ini tidak, aku beneran lelah banget.”

“Kita cerai, ya?” Lanjut Rere menatap Ares penuh harap dengan air mata yang terus mengalir.  “Setelah kita cerai, kak Ares bebas mau ngapain aja. Kak Ares juga bisa sama Raisa, kan?”

“Tidak, Re. Kita tidak akan cerai." Ares menggelengkan kepalanya dan entah kenapa, kalimat Ares selanjutnya membuat Rere semakin merasa sesak dan nyeri di dada. Seperti, ada benda keras yang menghantam. “Kita belum punya anak, tunggu sampai kamu hamil, ya?”

Rere terkekeh pelan, mengangguk. “Benar, aku belum memberi kak Ares anak, ya. Jadi, kita belum bisa cerai?”

Menyadari ada yang salah dari kalimatnya, membuat Ares menggeleng dan segera meralatnya. “Bukan begitu maksudnya, Re. Sampai kapan pun, kita tidak akan cerai.”

Rere menggeleng, tidak percaya. Karena sayangnya, ucapan pertama berasal dari hati dan sering kali benar.

“Oke, kita cerai setelah aku hamil dan dia lahir? Begitu yang kak Ares inginkan?” tanya Rere memperjelas kalimatnya.

“Re, stop menyebut kata cerai. Karena kita tidak akan bercerai!” Ares menatap Rere dengan tajam dan mengatakan kalimatnya dengan tegas.






















Sudah tersedia sampai part 52 di KaryaKarsa » thxyousomatcha ya!

The Sunset Is Beautiful Isn't It? (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang