Ketika Kita Berpisah

46 0 0
                                    

"Sesuatu yang pergi darimu sejak awal sebenarnya tak pernah menjadi milikmu, tak perlu disesali."

oOo

Aku terbangun sambil memegangi kepalaku yang masih berdenyut. Kurasakan perban menutupi rasa sakit di dahiku. Mataku mendelik secara perlahan. Aku melihat temanku dan seorang guru berkacamata dengan gagang warna kelabu. Namun, aku jadi sedikit bingung, entah mana yang mimpi dan mana yang bukan. Karena memang belakangan ini aku seringkali bermimpi tapi terasa nyata, dan kenyataan lebih terasa seperti mimpi. Semakin sulit untuk dibedakan.

Orang memang bisa bermimpi—mimpi indah bahkan mimpi buruk sekalipun. Anehnya, mimpi indah itu kebanyakan hanyalah kebohongan belaka, sementara mimpi buruk itu besar kemungkinan adalah nyata. Akan tetapi, kadang juga aku ragu, kalau semua mimpi itu nyata. Lantas, apa bisa disebut mimpi. Di dunia nyata, kecuali birat luka dan rasa sakit, sepertinya mimpiku dibanding dengan kenyataan terasa lebih nyata.

"Ada apa ini?" tanyaku sambil perlahan bangkit dan duduk bersandar.

"Lu nggak inget? Satu tambah satu berapa?!" sergah Jan teman satu asramaku atau biasa orang menyebutnya Partner in Crime.

"Yang gue inget, terakhir hujan deres, gue lagi bawa mobil terus—" Belum sempat aku menuntaskannya Jan sudah memotong.

"Lu itu abis dari luar kota, terus ditemuin jatoh di bawah konstruksi bangunan baru kampus kita, bawa mobil cerita dari mana?" tanya Jan terheran-heran, sekaligus membuat aku mulai ingat.

Jika benar lalu apa yang terjadi dengan wanita itu? Sempat aku merenung sampai wanita yang kami sebut Laoshi itu masuk ke dalam kamar dan memukul belikat Jan—memperingatkannya untuk mengenakan masker di tengah-tengah situasi endemik seperti ini. Ia pun mau tidak mau.

"Kayaknya nasib lu lagi bener-bener sial ampe bisa ketiban besi!" sambungnya.

Sial itu punya temen sekamar kayak dia nggak ada bagus-bagusnya kalo doa. Tapi, memang ini kali kedua dari yang pertama saat di luar kota—yang nyaris juga menimpa diriku. Beruntung hari ini tidak parah seperti yang pertama. Jika tidak, barangkali sekarang aku masih terbaring koma di ruang intensif gawat darurat milik pemerintah.

Jadi, jika ditimang-timang kembali, dipikirkan dengan lebih tenang lagi bahwasanya masih banyak hal yang sebenarnya bisa kita syukuri. Bukannya kita keluhi.

Meskipun nyata atau tidak, aku masih saja penasaran dengan sosok wanita itu. Seperti orang yang aku kenal, tapi siapa?

"Xia ci yiding yao zhuyi a! (Lain kali harus hati-hati!)" celetuk guru cantik bermata sipit itu. Memang dia guru yang paling peduli padaku, apalagi semenjak aku menjabat sebagai Presiden Organisasi Mahasiswa Internasional di kampus. Meski mulutnya tak habis mengomeliku perihal keluar kota ini-itu, dan pulang dengan tiba-tiba tanpa mengikuti prosedur sekolah. Untung saja, aku masih membawa hasil tes Covid-19 negatif sebelum perjalanan pulang.

Guruku itu pun kembali ke gedung kantornya setelah mengetahui diriku baik-baik saja. Meski memang aku dalam keadaan fit, tetapi aku masih merasa terbawa diri. Tenggelam pada mimpi-mimpi yang dipenuhi ilusi. Terbenam dalam pikiran-pikiran yang menyesatkan. Ditambah gegara wabah virus ini semua jadi sangat merepotkan. Sebenarnya kepalaku masih berdenyut pusing bukan cuma karena ketiban besi konstruksi. Tapi, karena selama perjalanan pulang yang membuatku masih dimabuk jalan.

Jan bergerak pergi ke sudut lemari, lalu mengambil roti tawar. Ia membuka tutup toples mayones, kemudian memolesi permukaannya. "Eh, btw, lu kok bisa pulang? Bukannya semua trasportasi dinonaktifin sementara?"

Itulah yang membuatku pusing dan mabuk di jalan. Bagaimana tidak? Aku mau tidak mau diam-diam mengendap masuk ke truk logistik barang, sebagaimana saran temanku jika aku memang nekat untuk pulang. Dan tak hanya itu, aku mesti berpindah berkali-kali untuk sampai kembali ke Kota Nanjing. Sempat aku tertangkap sekuriti. Namun, aku berlagak tak bisa Mandarin hingga mereka walah dan melepasku pergi.

Jan berniat kembali menghampiri, bedanya kini di tangannya kananya membawa roti dan di tangan kirinya segelas air putih.

Ia terpaku sejenak membuat mataku ikut menoleh ke mana arah matanya. Sekumpulan foto mesra antara aku dengan mantan kekasihku tersusun indah di dinding tepat di atas sandaran kasur ini.

"Lu, ngapain masih majang foto dia?" tanyanya, wajar jika ia heran. Meskipun baru berapa bulan, hubungan kami memang benar-benar usai. Dia yang mengusaikannya.

"Ah, biarin gue males aja," elakku padahal sebenarnya sangat berat untuk membereskannya. "Emangnya ini sampe ngerusak mata lu?"

"Jangan berlagak, Bro, kamu mungkin bisa menahan diri untuk tidak menemuinya, tapi malah tak kuasa diri saat dia yang datang menemuimu."

"Apa yang terlihat sepahit itu?" bantahku tidak terima.

"Ibarat kata pesan yang tak berbalas, buat apa dikirim lagi? Artinya kamu tidaklah penting. Sama halnya kata-kata yang sudah diungkapkan dua kali, tidak perlu diucap lagi. Artinya dia tidak peduli. Melakukan segalanya untuk orang yang tidak menaruh hati padamu itu sia-sia. Berhentilah mengganggu orang lain, dan menyulitkan diri sendiri."

Masalahnya aku masih merasa bahwa dia orang yang tepat, hanya saja keputusan yang diambil tidak tepat. Apakah aku harus menerima keadaan atau coba mengadu nasib siapa tau ada perubahan?

>>> Berlanjut ....

>>> Berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang